Dulu orang berkata, langit adalah batasnya. Sekarang, laut pun tak lagi bebas. Ada yang memasang pagar, ada yang mematok pantai, bahkan ombak pun dimintai pajak. Mungkin sebentar lagi, angin laut akan diklaim sebagai milik pribadi dan nelayan harus membayar retribusi untuk sekadar bernapas.
Di negeri yang dikelilingi lautan, manusia semakin lihai dalam seni memagari. Dulu mereka memagari tanah, lalu gunung, lalu pantai, dan kini giliran laut. Nelayan yang dulu berlayar mencari ikan kini harus berlayar mencari izin. Jaring yang dulu menangkap ikan kini menangkap peraturan. Sementara itu, di balik meja-meja megah, segelintir orang sibuk menghitung keuntungan dari apa yang seharusnya tak bisa dimiliki.
Ada satu tokoh yang ingin mencatat sejarah sebagai manusia pertama yang berhasil menaklukkan lautan. Ia memasang papan di tengah laut bertuliskan: "Dilarang berenang atau berlayar, ini laut saya!" dan menetapkan tarif untuk setiap ombak yang menyentuh pantainya. Jika ada yang protes, jawabannya sederhana: "Ini demi pembangunan, demi investasi, demi kesejahteraan bersama!"
Sungguh ironi, negeri maritim dengan tradisi bahari yang panjang, kini lautnya seperti halaman rumah orang kaya: hanya boleh dinikmati oleh segelintir yang mampu membayar. Sementara nelayan kecil? Mereka hanya bisa menatap laut yang dulunya bebas, kini berjeruji tak kasat mata.
Dan kita, apakah hanya akan diam menyaksikan laut dipagari, atau kita akan mengingatkan bahwa air tidak bisa dikotak-kotakkan, bahwa laut bukanlah properti yang bisa dimiliki oleh segelintir orang? Sebab jika keserakahan terus dibiarkan, jangan-jangan esok lusa, kita pun harus membayar untuk sekadar melihat matahari terbit di cakrawala.
Bahkan dunia pun tak akan cukup untuk mengubur keserakahanmu. Tanah yang kau timbun, laut yang kau pagar, dan angin yang kau klaim tak akan menemanimu dalam keabadian. Pada akhirnya, semua yang kau tumpuk hanya akan menjadi bayangan yang tak bisa kau genggam. Hingga lubang 2 x 1 meter memanggil, bukan hanya hartamu yang akan terlepas, tapi juga keangkuhan yang kau bangun dengan rakus. Di sana, tak ada lagi pagar, tak ada batas, hanya sunyi yang tak bisa kau beli.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI