Yono berdiri di depan rumah yang lama tak ia kunjungi. Rumah itu tak banyak berubah. Dindingnya yang pernah dicat putih kini tampak pudar, namun pintu kayunya masih kokoh seperti dulu. Udara sore itu terasa lembap, membawa kembali ingatan-ingatan lama yang seharusnya sudah lama ia lupakan.
Selama bertahun-tahun, ia menghindari tempat ini, menghindari wajah-wajah yang pernah ia kenal. Perang batin yang tak kunjung usai membuatnya memilih untuk berjalan jauh, menjauhkan diri dari rumah ini dan segala kenangannya. Tapi kini, saat ia kembali, semuanya terasa berbeda. Semua yang ia tinggalkan terasa lebih berat dari yang ia duga.
Ia menekan bel pintu, suara derit pintu tua mengiringi langkahnya masuk ke dalam rumah. Ibunya sudah menunggu, duduk di kursi goyang dengan wajah yang terlihat lebih tua, lebih lelah dari yang terakhir kali ia ingat. Yono tak tahu harus berkata apa, terlalu banyak waktu yang terbuang.
"Yono," suara ibunya yang lemah terdengar. "Kau akhirnya kembali juga."
Yono hanya bisa mengangguk, mencoba menyembunyikan perasaan yang menggerogoti. "Maafkan aku, Bu. Aku... aku tidak tahu apa yang membuatku pergi begitu lama."
Ibunya tersenyum tipis. "Kau bukan satu-satunya yang melarikan diri, Nak. Kadang, kita harus pergi untuk tahu apa yang benar-benar kita cari."
Setelah sekian lama, Yono duduk di ruang tamu yang hampir tidak berubah. Ada gitar tua yang masih tergeletak di pojok ruangan, sama seperti yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Ia teringat waktu itu, ketika ia masih muda dan bersemangat, berharap bisa menjadi lebih dari apa yang dunia lihat padanya. Tapi sekarang, semuanya terasa hampa.
"Mungkin aku hanya seorang soldier of fortune," gumamnya pelan, sambil memandang gitar tua itu.
Ibunya memandangnya dengan tatapan penuh makna, seolah ia mengerti lebih banyak dari yang Yono sangka. "Apakah itu yang kau cari selama ini, Yono? Perang yang tidak pernah berakhir?"
Yono terdiam. Ia tahu ibunya benar. Perjalanan yang ia jalani tidak pernah menemukan jawaban yang pasti. Semua yang ia cari di luar sana tidak pernah benar-benar mengisi kekosongan di dalam dirinya.