Lihat ke Halaman Asli

Upah Layak: Presiden Versus Buruh

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Upah Layak: Presiden Versus Buruh

# Rina Herawati,
PENELITI PERBURUHAN DI AKATIGA-PUSAT ANALISIS SOSIAL BANDUNG

Berapakah gaji (=upah) yang layak bagi Presiden Indonesia? Pertanyaan ini tampaknya sedang menjadi pekerjaan rumah bagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Menteri Keuangan menyatakan (di Tempo Interaktif, 25 Januari 2011) bahwa pada tahun ini, gaji presiden bersama sekitar 8.000 pejabat publik akan dinaikkan. Tetapi, mengenai berapa kenaikannya, itu masih dalam perhitungan, antara lain dengan mempertimbangkan biaya hidup di tiap daerah.

Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, tampaknya adalah pendukung rencana ini. Achsanul (di Kompas, 26 Januari 2011) membandingkan gaji presiden dengan gaji sejumlah direktur utama badan usaha milik negara. Menurut dia, gaji presiden sekarang kalah oleh gaji sejumlah direktur utama BUMN, padahal direktur utama itu diangkat oleh pemerintah. Gaji presiden selama tujuh tahun terakhir ini “hanya” Rp 62,7 juta per bulan atau setara dengan Rp 752,4 juta per tahun.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk ikut larut dalam perdebatan mengenai “besaran” gaji yang layak bagi presiden. Berapa besarnya, adalah sebuah keputusan politik. Tetapi, sebagai sebuah keputusan politik, masalah timing (saat) juga harus diperhitungkan. Apakah sekarang ini merupakan saat yang tepat untuk menaikkan gaji presiden?

Bahwa gaji presiden lebih rendah daripada gaji Gubernur Bank Indonesia (pada 2006 sebesar Rp 265 juta per bulan) yang secara struktural berada di bawahnya, logika awam pun akan setuju bahwa itu salah. Gaji Presiden seharusnya lebih tinggi daripada gaji Gubernur Bank Indonesia, juga lebih tinggi dibanding semua direktur utama BUMN, dibanding menteri-menteri, dibanding gubernur ataupun bupati. Tetapi apakah kesalahan itu harus dilengkapi dengan kesalahan lainnya, yaitu menaikkan gaji presiden pada saat ini?

Upah buruh

Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menaikkan gaji presiden. Mengapa tidak? Setidaknya ada dua hal yang selayaknya dipertimbangkan oleh pemerintah. Pertama, saat ini di Indonesia masih ada 31,02 juta penduduk miskin dengan perhitungan garis kemiskinan Rp 200.262 per bulan atau setara dengan Rp 2,4 juta per tahun (sekitar US$ 0,5 per hari). Bagi rakyat dalam kelompok ini, percayalah, sungguh menyakitkan mengikuti perdebatan mengenai kenaikan gaji presiden yang sekarang “hanya” Rp 752,4 juta per tahun.

Kedua, tenggelam dalam hiruk-pikuk perdebatan kenaikan gaji presiden, sejak Desember 2010 hingga saat ini, Januari 2011, ribuan bahkan ratusan ribu buruh sedang berjuang agar perusahaan tempatnya bekerja mau melaksanakan UMK (upah minimum kabupaten/kota) yang telah ditetapkan pada Desember 2010, yang besarnya rata-rata Rp 1 juta per bulan, atau Rp 12 juta per tahun. Untuk wilayah Jawa Barat, UMK terendah adalah Kota Banjar dengan Rp 732 ribu per bulan, sedangkan UMK tertinggi adalah Kota Bekasi sebesar Rp 1,275 juta per bulan.

Selama ini, besaran UMK ditetapkan oleh Dewan Pengupahan di masing-masing kota/kabupaten. Dewan pengupahan ini terdiri atas unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Salah satu alat untuk menentukan besaran UMK adalah survei pasar atas harga kebutuhan pokok. Namun, pada akhirnya, nilai UMK adalah hasil tawar-menawar di antara ketiga pihak tersebut, sehingga banyak pengamat yang menyatakan bahwa UMK tidak lain adalah produk politik.

Apakah UMK sebesar Rp 1 juta per bulan (= Rp 12 juta per tahun) itu layak bagi buruh? Sebelum menjawab ini, satu hal yang pasti, UMK itu masih jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita per tahun rakyat Indonesia, yang besarnya sekitar $ 3.000 pada 2010 (sumber: BPS). Untuk buruh lajang yang tidak memiliki tanggungan, UMK itu besarnya hanya 44 persen dari rata-rata pendapatan per kapita per tahun. Sedangkan bagi buruh yang sudah menikah dan memiliki dua anak, UMK itu besarnya hanya 11 persen dari rata-rata pendapatan per kapita. Apa artinya? Artinya, taraf penghidupan buruh di Indonesia sangat jauh di bawah rata-rata taraf penghidupan rakyat Indonesia. Angka itu sekaligus menunjukkan lebarnya kesenjangan tingkat kesejahteraan antara kelompok kaya dan kelompok miskin (termasuk buruh di dalamnya).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline