Lihat ke Halaman Asli

Suku Punan, Suku Dayak Pedalaman yang Bermata Biru

Diperbarui: 4 April 2017   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak Suku Punan. Dokpri.

Yang bikin membuat rindu bekerja di pedalaman Kalimantan itu adalah ketika berjumpa dengan suku suku pedalaman yang masih mempertahankan kehidupan dengan cara berpindah mengikuti siklus migrasi hewan atau juga siklus tanam tumbuh di hutan. Di pedalaman Puruk Cahu, Ibu Kota Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah pada tahun 2006 ketika saya pertama menginjakkan kaki di sana, saya pernah menemui seorang perempuan yang luar biasa cantiknya. Gadis ini bermata biru, kulit bersih. Saya pikir mata ini karena softlense, tapi ternyata seorang kawan kerja memberitahukan bahwa gadis itu kemungkinan keturunan Dayak Punan yang mendiami hulu Sungai Barito.

Setelah beberapa lama berinteraksi dengan kawan-kawan geologis, saya dapat sedikit informasi mengenai keberadaaan suku ini. Suku Punan termasuk suku pemalu, dia jarang memperlihatkan diri kepada orang luar, namun menurut beberapa legenda suku ini termasuk suku kanibal. Beberapa rekan geologis yang menjelajah hingga ke pelosok-pelosok hutan juga jarang menjumpai suku ini. Namun kehadiran suku ini dapat dirasakan oleh tim geologis. 

Tim geologis yang biasanya di hutan selama berminggu-minggu mendirikan tenda-tenda darurat flying camp. Nah, dalam tenda ini ada tenda logistik juga. Menurut tim geologis, ketika mereka pergi mencari singkapan batubara, tenda ini jarang ditunggui. Setelah mereka kembali pada sore hari, kadang mereka mendapati tenda logistik terbuka. Ada saja yang hilang, entah itu kopi, gula, garam, atau teh. Namun walau mereka kehilangan, tidak jauh dari tenda itu, biasanya tergantung ikan-ikanan. Para senior geologis biasanya paham bahwa suku Punan ini sesungguhnya hanya ingin barter, dan para peneliti tersebut tidak mempersoalkan.

Suasana Tempat Tinggal Suku Punan. Dokpri.

Suatu saat, tim saya di bawah Departemen Community Relations and Development (CRD), memberitahukan melalui telepon satelit bahwa mereka secara tidak sengaja ketika melakukan survei warisan budaya menjumpai suku Punan yang pemalu ini. Ini peristiwa langka. Saya katakan bahwa foto mereka dan coba gambarkan kehidupan mereka. Dari laporan tim CRD itu saya mendapat gambaran cara hidup mereka. Suku Punan ini adalah para penjaga rimba, mereka hidup dari alam karena mereka percaya alamlah yang menghidupi mereka. Bagi mereka jika alam rusak maka sumber kehidupan akan hilang.

Seorang geolog senior Lim Meng Sze Wu pernah bercerita mengapa mata mereka biru. Dalam catatan geologis, pada akhir abad 19, Tim Rusia pernah mengekplorasi pedalaman Barito dari arah timur (daerah Samarinda). Tim ini mencari sumber minyak. Catatan-catatan pengeboran mereka bisa ditemui di arsip-arsip geologis yang tersimpan di Gedung Geologis Bandung. Tim Rusia sudah beberapa kali mengirim tim ekspedisi geologis. Menurut Pak Lim, ada kemungkinan Tim Rusia ini berinteraksi dengan suku pedalaman Kalimantan ini. Ini yang menyebabkan birunya mata suku dan putihnya kulit Suku Punan sekarang ini yang masih mendiami hulu Sungai Barito ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline