Laki-laki, makhluk yang jarang sekali speak up terkait rasa lelahnya. Seseorang yang terbiasa menanggung beban dan keluh kesahnya dalam hati sendiri.
Tulisan ini tidak bermaksud memberatkan salah satu gender, tidak. Ini hanyalah bentuk keterusterangan penulis, akan perlunya bicara dan didengarkan.
Laki-laki biasanya digambarkan dengan maskulinitas, pandai banyak hal, dan sandaran bagi keluarga. Ia adalah sosok yang sering kali berdiri di garis depan, menjadi tameng dalam segala kesukaran.
Laki-laki itu harus kuat. Laki-laki tak boleh menangis, karena menangis itu untuk perempuan.
Laki-laki itu harus bisa bertahan dalam segala rintangan, jadi pemandu yang baik, penerang dalam kegelapan, dan pemimpin menuju kemakmuran.
Oke, salah atau benarnya, itu adalah gambaran atau sudut pandang dunia terhadap pria.
Lantas, bagaimana dari sudut pandang laki-laki sendiri ?
Laki-laki juga sama manusia, sama dengan yang lainnya. Ia bertahan karena tanggung jawab yang harus diemban.
Jadi, bagaimana jika ia telah mencapai batasnya ? Tatkala ia merasa lelah dengan keadaan, apakah ia boleh mengeluh ? Mengeluarkan air mata meratapi nasib yang kian tak terarah ?
Ia tak menyerah, hanya ingin rehat. Garda depan itu tak menyenangkan, disana dingin, panas, dan sering kali menyakitkan.
Ada kalanya seorang pria, ingin didengarkan keluh kesahnya. Ingin menangis setidaknya sekali saja. Lelah? Iya. Cape ? Tentu saja.