Lihat ke Halaman Asli

Priyasa Hevi Etikawan

Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Siapapun Menteri Pendidikannya, Tetaplah Guru Ujung Tombaknya

Diperbarui: 25 Oktober 2024   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi guru dan murid | Sumber : Olahan pribadi

Hari ini kita disuguhkan dengan hiruk pikuk suksesi pergantian rezim berkuasa. Dari pemerintahan Presiden Joko Widodo beralih pada Presiden Prabowo Subianto. Hingar bingar berita pelantikan presiden baru seakan memenuhi ruang-ruang publik kita. Dimana-mana orang membicarakan tema yang sama. Baik dari kubu pro pemerintah maupun kubu oposisi pemerintah.

Usai pengucapan sumpah jabatan presiden Indonesia untuk masa jabatan 2024-2029 Presiden Prabowo Subianto berpidato dengan penuh semangat menggelora yang menjadi ciri khasnya. Di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, pada Minggu, 20 Oktober 2024. Dalam pidatonya Presiden Prabowo menyampaikan meski Indonesia telah mencapai beberapa prestasi di kancah Internasional seperti menjadi bagian dari G20 dan masuk sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia, presiden mengingatkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Mulai dari kemiskinan, kekurangan gizi, hingga masalah pendidikan. Ya lagi dan lagi masalah pendidikan.

Seketika ingatan saya langsung tertuju pada sosok Nadiem Makarim. Yang konon katanya akan digantikan oleh figur baru dari kalangan ormas Muhammadiyah. Ternyata benar saja, mas menteri Nadiem Makarim pada akhirnya turun jabatan digantikan oleh Prof. Abdul Mu'ti, M.Ed. Beliau adalah pakar pendidikan islam, guru besar bidang pendidikan agama islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sekretaris umum PP Muhammadiyah.

Dimana juga Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi di era pemerintahan Presiden Prabowo ini dipecah menjadi tiga. Ketiganya yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), serta Kementerian Kebudayaan.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipimpin oleh Prof. Abdul Mu'ti, M.Ed akan di dampingi oleh dua wakil menteri yakni Dr. Fajar Riza Ul Haq, M.Si. dan Prof. Atip Latipulhayat, S.H., LL.M., Ph.D. Harapan baru membuncah mengiringi pergantian tampuk kepemimpinan tertinggi di Kementerian Pendidikan. Harapan akan dunia pendidikan kita yang lebih baik dan maju.

Peran Sentral Tetap Di Pundak Guru

Peran sentral kemajuan pendidikan Indonesia ada di pundak para guru. Kalimat yang terlihat sederhana tetapi sesungguhnya berat dan rumit dalam implementasinya. Karena tubuh guru sejatinya rapuh. Ia masih belum selesai dengan persoalan dirinya sendiri. Tapi apa mau dikata, seperti di kebanyakan negara-negara berkembang lainnya sistem pendidikan yang dibangun masih menitik beratkan pada peran guru dan sekolah. Guru dan sekolah memikul beban tanggung jawab yang luar biasa untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.

Padahal guru dan sekolah juga masih bergulat dengan masalahnya masing-masing. Masalah lama tapi toh sampai hari ini juga tidak kunjung selesai juga. Di negara maju untuk menjadi seorang guru betul-betul sangat selektif. Begitu banyak kriteria yang harus dipenuhi seorang calon guru. Di seleksi secara ketat dan dengan keterampilan pedagogik yang tidak main-main. Di Finlandia guru minimal berkualifikasi ijazah setara S2. Di Jepang uji kompetensi guru rutin dilaksanakan setiap tahun. Oleh karena tingkat kesejahteraan guru di negara maju juga sangat diperhatikan oleh negara. Berbanding lurus dengan mutu kompetensi serta profesionalismenya.

Tidak demikian dengan Indonesia. Masih banyak guru dengan tingkat penghasilan di bawah upah minimum. Dengan penghasilan kecil juga tidak selalu dibayar rutin setiap bulan gajian. Sementara kebutuhan pokok mesti dipenuhi secara rutin. Anak dan istri atau suami juga harus dipenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Demikian juga dengan sekolah-sekolah yang ada. Ketimpangan itu sangat terasa. Sekolah dalam satu kawasan zonasi saja sungguh bisa dirasakan aroma ketimpangan itu. Belum tercukupinya jumlah tenaga pengajar, sarana prasarana yang minim, dukungan masyarakat yang juga rendah, ditambah ada aturan untuk beberapa sekolah, khususnya sekolah negeri yang dilarang untuk menarik iuran dana dari masyarakatnya. Dengan asumsi sudah tercover oleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tapi pertanyaannya apakah betul jika dana BOS itu bisa mencover seluruh kebutuhan sekolah?

Coba kita bayangkan jika sekolah diberi sedikit saja kelonggaran untuk menarik Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dari masyarakat secara terukur tentu hal ini akan sangat membantu percepatan pembangunan dan kemajuan di sekolah itu. Juga sebagai bentuk partisipasi aktif dari masyarakatnya. Tapi dengan aturan pelarangan penarikan iuran khususnya pada sekolah-sekolah negeri membuat sulit. Khususnya pada sekolah negeri dengan jumlah murid sedikit. Menjadi kembang kempis seakan hidup segan mati tak mau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline