Teringat pada sebuah kisah di masa SMA dulu. Ibunda dari salah seorang teman komplain dan mendatangi sekolah karena anaknya masuk ke jurusan IPS. Padahal si ibu berharap jika anaknya bisa masuk jurusan IPA. Dengan tergopoh-gopoh si ibu masuk ke ruang guru untuk bertemu wali kelas dan kepala sekolah. Berharap agar anaknya bisa pindah jurusan dari IPS ke IPA. Dan akhirnya di hari itu juga si anak dipindah ke kelas IPA.
Di sisi lain ada seorang teman berdasarkan tes penjurusan dia dinyatakan masuk ke jurusan IPA. Tetapi teman ini menolak. Karena dia lebih menghendaki agar bisa masuk jurusan IPS. Dengan alasan kelak dia akan mengambil jurusan pada rumpun IPS saat melaksanakan studi lanjut ke perguruan tinggi. Sehingga dia perlu membekali diri dengan pengetahuan dan keilmuan di bidang sosial dari tingkat SMA nya. Akhirnya teman ini pun masuk pada kelas IPS.
Hal ini juga terjadi pada pribadi saya. Di era awal tahun 2000-an saat itu SMA masih menggunakan kurikulum 1994. Proses penjurusan terjadi di kelas 3. Saya yang saat itu dinyatakan masuk ke jurusan IPA menolak dan lebih memilih masuk ke jurusan IPS. Alasannya sangat sederhana karena saya ingin berkuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selepas lulus SMA nanti.
Asumsi saya dengan masuk jurusan IPS maka nantinya saya akan bisa lebih adaptif saat berkuliah di PGSD. Menjadi guru SD sudah menjadi cita-cita saya sejak SMA. Meskipun saat itu saya ditertawakan oleh wali kelas dan teman-teman sekelas, tapi toh pada akhirnya saya masuk juga ke jurusan IPS dan melanjutkan ke PGSD.
Beruntung saya memiliki orangtua dengan pola pikir terbuka (open minded) dan moderat. Sehingga saat saya menjelaskan alasan mengapa saya memilih jurusan IPS, ayahanda hanya tersenyum dan mengatakan lakukan yang terbaik sesuai dengan pilihan. Lelaki sejati adalah mereka yang bisa bertanggung jawab dengan pilihannya. Senang dan lega rasanya mendengar jawaban tersebut.
Stigmatisasi Yang Keliru
Diakui atau tidak sampai sekarang pun masih banyak orang yang beranggapan bahwa jurusan IPA lebih bergengsi daripada IPS dan Bahasa. Banyak orang tua merasa bangga jika anaknya bisa masuk jurusan IPA di SMA. Jurusan IPA memiliki prestise dan previlise sendiri di mata masyarakat.
Juga terbentuk stigma jika siswa jurusan IPA adalah siswa yang tekun, disiplin dan teratur. Berbeda dengan siswa jurusan IPS dan Bahasa. Sehingga selama ini jurusan IPA menjadi idola bagi mayoritas kalangan orang tua dan siswa SMA itu sendiri.
Bahkan di tingkat perguruan tinggipun anak-anak lulusan IPA semacam memiliki keistimewaan dan keleluasaan lebih dalam menentukan program studinya. Siswa lulusan SMA IPA bisa masuk di rumpun jurusan eksakta dan sosial. Sementara siswa lulusan jurusan IPS tidak bisa sebaliknya.
Hanya bisa memilih jurusan yang serumpun dengan IPS dan Bahasa. Tidak cukup syarat untuk masuk program studi eksakta. Kondisi semacam ini yang kemudian membuat stigma dalam masyarakat bahwa jurusan IPA lebih baik dari IPS dan Bahasa semakin tertanam kuat.
Pada akhirnya banyak orangtua beranggapan jika anaknya masuk dalam jurusan IPA di SMA akan mempermudah cita-citanya guna meraih kesuksesan di masa mendatang. Secara jujur saya tidak sependapat dengan pola pikir semacam ini. Manusia secara fitrah diciptakan oleh Tuhan dengan bakat, minat dan kemampuan serta karakteristik yang berbeda satu sama lain. Jika diasumsikan hanya mereka yang berasal dari jurusan IPA yang lebih besar peluangnya untuk mencapai kesuksesan hidup, kok ya rasanya Tuhan menjadi tidak adil.