Rasa cinta pasti ada pada makhluk yang bernyawa. Akan suci dan abadi takkan hilang selamanya. Begitu sepenggal syair dalam sebuah lagu dangdut lawas. Tiada habisnya jika membicarakan tentang cinta. Banyak kisah terukir dan tercipta karena cinta. Karena cinta adalah anugerah Yang Maha Kuasa.
Kecintaan seseorang terhadap sesuatu akan membuatnya bertindak secara tulus dan ikhlas. Tanpa pamrih dan begitu murni tidak disertai tendensi apapun. Kemurnian perasaan itu akan membuat seseorang melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan untuk sesuatu yang dicintainya. Itulah kekuatan cinta.
Rasa cinta kiranya tidak hanya sebatas pengertian perasaan suka dan ketertarikan antara dua insan manusia yang berbeda jenis kelamin. Namun rasa cinta bisa diartikan secara luas secara universal dalam kehidupan kita sebagai manusia. Rasa cinta sejatinya melekat di setiap hati sanubari manusia. Menilik pada kodrat manusia itu sendiri sebagai makhluk individu yang mempunyai cipta, rasa dan karsa.
Pernah pada suatu ketika saya bertanya kepada seorang teman guru muda. Saya bertanya, "Mengapa Anda memilih menjadi seorang guru?" Dia menjawab dengan sigap, "Karena saya mencintai pekerjaan sebagai guru". Saya kejar kembali dengan pertanyaan yang lain, "Mengapa Anda mencintai pekerjaan guru?". Dia menjawab dengan lugas, "Entahlah mas, menjadi guru setidaknya membuat saya senang, minimal saat saya ketemu dengan murid ada suatu perasaan menyenangkan yang sulit dijelaskan".
Begitulah memang terkadang kecintaan kita terhadap sesuatu menjadi sulit untuk dijelaskan dan diungkapkan secara rasional. Tetapi bisa dirasakan kedalaman maknanya di relung hati terdalam.
Idealitas Vs Realitas = Absurditas
Selalu ada hal yang menarik di tengah obrolan saya dengan teman guru-guru muda. Seakan saya ditarik pada nuansa berpikir 10 sampai dengan 15 tahun yang lalu saat masih menjadi mahasiswa. Selalu ada kegelisahan. Kerap ada keresahan dan kegundahan di antara guru-guru muda ini. Sorot mata yang tajam dan menyala-nyala disertai pertanyaan atau argumentasi yang kritis juga menukik membuat saya menjadi bersemangat dan bergairah untuk selalu berdiskusi atau mengobrol dengan mereka.
Generasi guru muda ini selalu meresahkan dan mencermati apa yang seharusnya dengan apa yang senyatanya mereka dapati. Dengan sungguh-sungguh dan serius saya dengarkan cerita dan wawasan mereka tentang gambaran pendidikan yang mereka dapatkan di kampus. Yang diajarkan oleh dosen-dosen mereka.
Sangat menarik dan membuat saya terhanyut dalam pemikiran-pemikiran idealisme mereka. Memahami dengan sepenuh hati bahwa dunia kampus adalah tempat menanamkan idealisme berpikir. Menajamkan naluri pikiran sebagai kaum intelektual generasi penerus bangsa ini. Ya itulah dunia kampus. Justru sangat aneh jika lulusan dari sebuah kampus apalagi kampus ternama tetapi minim idealisme dan tumpul nalar kritisnya. Lalu ngapain saja di kampus?
Idealisme dalam perspektif saya adalah keinginan dan keteguhan hati untuk mempertahankan sesuatu prinsip yang dianggapnya benar. Sementara realita adalah fakta atau kenyataan yang ditemui dalam kehidupan. Akan selalu ada jarak dan kesenjangan antara idealisme dengan realita. Kesenjangan itulah yang menimbulkan absurditas.