Lihat ke Halaman Asli

OJK: Antara Century dan Northern Rock

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bank Century (kini Bank Mutiara) memiliki kisah yang serupa dengan Northern Rock di Inggris. Keduanya merupakan bank yang harus diselamatkan, demi alasan menghindarkan dampak krisis yang lebih luas. Juga, sama-sama menyisakan ‘cerita’ panjang sesudahnya.

Bedanya, Century merupakan satu-satunya bank yang di-bailout di Indonesia, sementara Northern Rock merupakan bank pertama dari beberapa bank yang kemudian harus di-bailout pemerintah Inggris terkait krisis global 2008 lalu.

Kisah kedua bank tersebut, Century dan Northern Rock, menunjukkan bahwa tidak lebih penting dimana otoritas pengawasan bank berada, apakah terpisah dari bank sentral, atau berada di dalam kewenangan bank sentral.

Di Indonesia kelahiran OJK dinilai akibat kegagalan bank sentral dalam pengawasan perbankan (Tempo, 28/11/2009 dan Kompas, 11/4/2012). Sebaliknya penghapusan OJK di Inggris dinilai karena FSA gagal dalam menjalankan tugas pengawasan perbankannya sehingga kini kewenangannya dikembalikan ke bank sentral (Mirror News, 28/1/ 2008).

Dari kisah penanganan kedua bank tadi dan perbedaan siapa yang mengawasinya, terlihat bahwa sebenarnya yang jauh lebih penting adalah ‘kualitas’ pengawasannya. Dan terutama keberanian dalam mengambil tindakan pencegahan (pre-emptive supervisory actions), yaitu sebelum kondisi suatu bank semakin parah dan menjadi rentan ‘menularkan penyakitnya’. Namun, hal ini terbukti sangat tidak mudah!

Kuncinya adalah kemampuan untuk mendiagnosa kualitas ‘kesehatan’ suatu bank. Misalnya, strategi bisnis yang diterapkan suatu bank yang posturnya terlihat ‘gemuk’ dan menguntungkan serta harga sahamnya naik terus, bisa jadi bukan strategi yang sehat. Bank yang demikian belum tentu tidak menyimpan penyakit layaknya penderita obesitas. Tingkat keyakinan dan keahlian dalam menilai kekuatan sesungguhnya dari struktur neraca suatu banklah yang akhirnya akan lebih menentukan, dimanapun fungsi pengawasan itu diletakkan.

Keberanian ini diperlukan karena mencegah bukanlah hal yang ‘populis’. Misalnya mengerem suatu bank pertumbuhan asetnya terlalu cepat karena dinilai akan membahayakan, baik bagi ‘kesehatan’ dirinya maupun dampak negatifnya bagi ekonomi secara luas, bukanlah hal yang mudah diterima.

Apa yang dinilai sebagai risiko negatif oleh otoritas tidak akan mudah dimengerti karena belum terlihat jelas indikasinya. Sementara akibatnya, misalnya melambatnya laju penyaluran kredit bank akan lebih terasa sebagai kendala bagi banyak pihak. Adapun, manfaat tindakan pencegahan semacam ini tidak bisa dilihat dengan segera dan kasat mata. Sulit tentu berharap tindakan seperti ini mendapatkan dukungan karena apa yang dikhawatirkan otoritas belum tentu dilihat sebagai hal yang sama, karena belum terwujud. Justru, apa yang dikhawatirkan tidak akan terjadi bila tindakan pencegahan tersebut efektif.

Selain itu, untuk mengenakan sanksi kepada manajemen suatu bank yang gagal sekalipun dan yang akhirnya membebani negara, terbukti tak mudah.

Logika hukum yang ada seringkali tak cukup kuat untuk dijadikan dasar menindak. Hal ini misanya tercermin dari hasil evaluasi OJK-nya Inggris pasca bail-out ke salah satu bank terbesar di Inggris, Royal Bank of Scotland (RBS):

“Errors of commercial judgment are not in themselves sanctionable, unless either the processes and controls which governed how these judgments were reached were clearly deficient, or the judgments were clearly outside the bounds of what might be considered reasonable. The reasonableness of judgments, moreover, has to be assessed within the context of the information available at the time, and not with the benefit of hindsight

“The implication of these points is that an investigation can identify evidence of numerous poor decisions and imperfect processes, without that establishing a case for enforcement action which has reasonable prospects of success in Tribunal or court proceedings” (FSA Board Report: The Failure of the RBS, Desember 2011, halaman 7).

Kembali ke masalah Century dan Northern Rock, bailout kedua bank tersebut dilakukan pada saat krisis keuangan global akibat jatuhnya industri ‘sub-prime mortgage’ di AS, yang puncaknya terjadi pada saat Lehman Brothers bangkrut pada 15 September 2008, mulai menjalar ke seluruh dunia.

Bank Century diambil-alih sementara melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 21 November 2008. Sementara pengambilalihan Northern Rock oleh pemerintah Inggris dilakukan pada 22 Februari 2008, melalui suatu lembaga yang dibentuk untuk mengelola aset yang milik negara sebagai salah respon terhadap krisis, yaitu UK Financial Investment Ltd (UKFI). Lembaga ini sepenuhnya berada di bawah kendali Kementrian Keuangan Inggris. Dengan demikian, UKFI ini semacam BPPN di jaman krisis 1998 dulu.

Meski keduanya bukan merupakan bank yang ‘raksasa’ di negara masing-masing namun langkah ‘nasionalisasi’ atas kedua bank yang terlilit kesulitan akibat salah urus tersebut, terpaksa dilakukan untuk mencegah agar bank tersebut tidak bangkrut dalam situasi yang saat itu dinilai akan mudah menimbulkan kepanikan.

Bisa jadi, di mata otoritas, pertimbangan dan situasi saat itu adalah seperti yang dikemukakan oleh Alistair Darling ini: “I was damned if our reputation was going to be destroyed over a failure of a small, reckless bank. We had to stop this (bank) run and regain control of events, no matter what it took”. (kesaksian Alistair Darling dalam bukunya ‘Back From The Brink’, halaman 15).

Alistair Darling adalah Counselor of the Exchequer, semacam Menteri Keuangan dalam kabinet pemerintahan partai buruh di Inggris semasa perdana menteri Gordon Brown yang partainya kemudian kehilangan dominasi setelah krisis.

Bagi Inggris, tentu sangat memalukan melihat penarikan dana masyarakat besar-besaran dari bank (sering disebut dengan ‘rush’ atau ‘bank run’) yang disiarkan secara luas oleh media ke seluruh dunia, yang menimpa Northern Rock sejak tanggal 14 September 2007.

Selain fenomena seperti itu tidak pernah terjadi dalam lebih dari seabad terakhir, juga mengingat negara tersebut terkenal sebagai pusatnya industri perbankan modern dan pelopor apa yang dikenal sebagai stabilitas sistem keuangan.

Apa yang disampaikan Alistair Darling, boleh jadi mewakili suasana hati para politisi incumbent dan otoritas bila menghadapi ‘momok’ berupa risiko krisis perbankan. Sejarah membuktikan bahwa ambruknya suatu bank dalam situasi tertentu akan menimbulkan konsekuensi politis yang luar biasa besar.

Kini pengambilalihan sementara kedua bank tersebut memasuki masa ‘privatisasi’. Saham yang dikuasai pemerintah akan dijual secara terbuka ke publik. Untuk bank Mutiara, LPS saat ini memulai kembali tahap penawaran terbuka. Ini merupakan upaya yang kedua setelah pada bulan Juli 2011 yang lalu rencana penjualan saham Bank Mutiara ini gagal membuahkan hasil.

Saat itu ada 9 investor yang awalnya berminat namun akhirnya tidak ada yang dinilai memenuhi syarat. Kali ini, para investor diberikan kesempatan untuk menyampaikan penawarannya sampai dengan 1 Mei 2012 nanti.

Beberapa media sempat memberitakan adanya investor pendatang baru, Yawadwipa (baru didirikan pada 9 Januari 2012), yang berminat membeli bank Mutiara seharga sekitar 6,7 triliun rupiah. Angka yang merupakan jumlah dana yang disuntikkan Pemerintah untuk menyelamatkan bank Century. Sesuatu yang oleh banyak kalangan dinilai mengejutkan dan ‘aneh’ berdasarkan kondisi keuangan dan kinerja Bank Mutiara saat ini serta kemunculan Yawadwipa yang tiba-tiba.

Demikian pula dengan Northern Rock, yang mulai didivestasi sejak tahun lalu. Bedanya, bank yang spesialisasinya membiayai kredit perumahan ini, sebelumnya dipecah menjadi dua bagian.

Pertama, tetap sebagai bank dengan jumlah aset yang lebih kecil (menjadi sekitar 20% dari total aset sebelumnya), sehingga kebutuhan modalnyapun lebih kecil, yaitu Northern Rock plc. Terkait ini, sebelumnya pemerintah Inggris menyuntikkan dana sebesar 1,4 milyar pound sterling.

Kedua, berupa institusi yang khusus mengelola aset yang dipisahkan dari neraca bank Northern Rock, disebut sebagai Northern Rock Asset Management plc (NRAM). Fokus aktifitasnya berupa restrukturisasi aset dan menjualnya sebagai sumber pengembalian suntikan dana pemerintah dan kreditur lainnya. Pemerintah Inggris mengeluarkan dana sebesar 35,4 milyar Pound sterling terkait dengan restrukturisasi ini. Dengan demikian, total biaya yang dikeluarkan Pemerintah Inggris untuk mem-bail-out Northern Rock hampir mencapai 37 milyar Pound sterling.

Pecahan pertama Northern Rock tersebut sudah dijual ke investor, Virgin Money, pada November tahun lalu seharga 747 juta pound sterling. Penjualan tersebut dinilai telah merugikan negara sebesar sekitar 400 juta pound sterling lebih, sehingga pemerintah mendapat kritik pedas dari berbagai kalangan meskipun pemerintah berkilah bahwa penjualan ini merupakan ‘best possible deal’ dengan alasan bahwa Northern Rock plc tersebut diperkirakan masih akan merupakan bank yang merugi sampai dengan akhir tahun 2012. Bahkan, National Audit Office, BPK-nya Inggris, dikabarkan akan melakukan investigasi atas proses penjualan ini (BBC News, 18/12/2011).

Sementara itu, untuk NRAM, dana masyarakat pembayar pajak Inggris yang disuntikkan sebesar 35,4 milyar pound sterling, diperkirakan baru akan kembali dalam masa 15 tahun mendatang. (FT, 28/12/2012)

Kesamaan lainnya adalah kedua bank tersebut, sebelum terpaksa di-bailout pemerintah, memperoleh ‘talangan’ pinjaman likuiditas, semacam ‘FPJP’, dari bank sentral masing-masing. Namun, karena perbedaan ‘setting’ otoritas di kedua negara berbeda, maka proses pemberian FPJP inipun berbeda. Meski pemberiannya sama-sama tidak melalui proses yang mulus. Keduanya terkendala dengan ‘aturan legal’ yang ada saat itu.

Di Inggris, yang sejak tahun 2000 otoritas pengawasan bank dipindahkan ke FSA (meskipun saat ini justru dikembalikan lagi ke bank sentral sebagai bentuk koreksi dari penanganan krisis yang dinilai tidak efektif), terjadi perbedaan persepsi yang sengit antara bank sentral dengan FSA dan Kementrian Keuangan. Bank sentral cenderung enggan memberikan ‘talangan likuiditas’ (FPJP) karena menilai tidak mendidik (menimbulkan moral hazard), sementara FSA dan Kementrian Keuangan berpendapat bahwa bank sentral harus mengeksekusi fungsinya sebagai ‘lender of the last resort’ secara dini agar krisis tidak menular.

Intinya, tingkat ‘kepanikan’ antara lembaga yang mengemban tugas sebagai pengawas bank, dalam kasus di Inggris adalah FSA, lebih ‘berat’ dibandingkan dengan bank sentral yang tidak memiliki tanggungjawab mengawasi perbankan.

Kini di kedua negara sama-sama tengah menjalani masa transisi menyangkut keberadaan peran pengawasan perbankan dan pasar keuangan secara luas, namun dengan arah yang berkebalikan.

Lantas, apa kaitannya dengan OJK?

Nah mengingat yang terjadi di Indonesia sekarang serupa dengan yang dialami Inggris tahun 2000-an, jangan sampai mengulang kegagalan yang sama. Jangan sampai sejak saat inipun sudah ada perasaaan yang penting OJK terbentuk, dan berharap suatu saat OJK dilebur lagi.

Melihat penanganan kasus Northern Rock di Inggris, dimana fungsi pengawas tidak di bank sentral, sebagai lembaga yang bisa memberikan ‘FPJP’ manakala ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas, maka sisi inilah yang harus menjadi salah satu prioritas dalam pembentukan OJK. Mekanisme dan skema seperti apa nantinya kalau hal seperti itu terjadi harus sudah‘crystal clear’ sejak mulai berfungsinya OJK Januari 2013 nanti. Jangan sampai, bila situasi yang tidak diinginkan ini terjadi, penanganannya berbuntut keributan yang sama.

Yang harus diingat, tidak terlalu penting meributkan siapa yang duduk di pucuk pimpinan dan darimana anggota dewan komisioner berasal. Juga tidak lebih penting bila OJK sekedar dimaksudkan agar memiliki akses informasi yang menyeluruh terhadap semua industri keuangan. Yang jauh lebih menentukan adalah keberanian para pimpinan OJK di dalam mengambil keputusan, terutama tindakan pencegahan, dan keahlian mereka dalam menterjemahkan makna dibalik setiap data serta mendeteksi risiko yang terkandung di dalamnya.

Yang juga tak kalah mendesaknya adalah harus ada mekanisme yang lebih jelas dan lebih adil, serta lebih mangkus dan sangkil dalam menangani suatu bank atau institusi keuangan yang ‘gagal’. Dalam hal ini keberadaan undang-undang jaring pengaman sektor keuangan (UU JPSK) yang sudah diamanatkan sejak tahun 1999 dan seharusnya sudah ada di republik ini paling lambat tahun 2004 menjadi semakin ‘urgent’ dan ‘crucial’.

Tanpa itu semua, perubahan lembaga yang berwenang dalam pengawasan bank dan industri keuangan lain tak akan bisa mencegah praktik pengelolaan yang sembarangan.

Jangan sampai, dengan masa penyiapan yang ribut dan sedemikian lama, serta ‘biaya’ pembentukan OJK yang tak murah, ujung-ujungnya manakala menangani bank atau institusi keuangan lainnya yang bermasalah biayanya tetap besar dan menjadi beban rakyat tak berdosa, alias hanya akan berakhir dengan ‘jas bukak iket blankon, sama juga sami mawon’, alias nggak ada bedanya dengan sekarang.

(Buku ‘Back From The Brink’/Buku Putih Kementrian Keuangan/the Telegraph/BB News/Tempo/ Guardian/FT)

‘OJK’ dan Skandal Korupsinya di Korea Selatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline