Bicara ‘anti’ dominasi barat, khususnya Amerika Serikat (AS), Amerika Latinlah tempatnya. Khususnya bila menyangkut persoalan ekonomi dan pasar keuangan. Para petinggi negeri di wilayah ini seringkali mengeluarkan pernyataan pedas. Bukan hanya itu, langkah konkritpun diambil meski tentunya daya imbasnya masih akan sangat terbatas.
Salah satu langkah yang mereka ambil sebagai bentuk ‘perlawanan’ terhadap dominasi US Dollar sebagai mata uang global adalah dengan ‘menerbitkan’ mata uang alternatif, yang disebut ‘SUCRE’. Nama Sucre diambil dari pahlawan Amerika Latin, Antonio Jose de Sucre, yang berjuang bersama Simón Bolívar membebaskan dari penjajahan Spanyol. Meski demikian, SUCRE juga merupakan singkatan dari Sistema Único de Compensación Regional, atau bila diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Unified System for Regional Compensation. Singkatnya, Sucre merupakan alat pembayaran yang digunakan dalam perdagangan regional antar negara di Amerika Latin dan Karibia.
Sucre sebenarnya pernah digunakan sebagai nama mata uang Ekuador sebelum mengalami dollarisasi. Ide Sucre sejatinya serupa dengan mata uang Euro di kawasan Eropa. Penggunaan Sucre ini juga dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh ekonomi global ke dalam perekonomian negara-negara Amerika Latin.
Pembentukan Sucre dipelopori presiden Venezuela, Hugo Chaves, dan melibatkan negara-negara yang tergabung dalam blok ‘ALBA’, aliansi masyarakat Amerika Latin (Bolivarian Alliance for the Peoples of Our Americas) yang cenderung berhaluan sosialis.
Deklarasi penggunaan Sucre sebagai mata uang regional negara-negara ALBA ini dilakukan dalam pertemuan tingkat tinggi ALBA ke-7 di Cochahamba, Bolivia pada tanggal 16 Oktober 2009. Saat ini Sucre masih berupa mata uang ‘virtual’, dalam arti belum diterbitkan dalam bentuk uang kartal (koin dan kertas) yang ada di masyarakat. Masih sebatas media setelmen transaksi diantara bank sentral negara-negara anggota ALBA.
Transaksi perdagangan pertama penggunaan Sucre ini baru terjadi antara Venezuela dan Ekuador terkait transaksi penjualan 15 ribu ton beras dengan nilai 1.89 juta Sucre (nilai tukar Sucre saat ini sekitar 1.25 US Dollar) pada tanggal 6 Juli 2010. Transaksi serupa juga kemudian dilakukan antara Venezuela dengan Kuba dalam transaksi pembelian beras 360 ton beras oleh Kuba, senilai 108 ribu Sucre. Dalam perkembangannya, beberapa transaksi perdagangan komoditas yang sudah disepakati antara anggota ALBA ke depan akan menggunakan mata uang Sucre ini.
Apa yang dilakukan negara-negara Amerika Latin tersebut tak lain merupakan cerminan bentuk protes ketidakpuasan terhadap dominasi US Dollar. Fenomena yang memang terus berkembang pasca krisis ekonomi hebat menerjang tahun 2008, yang sumbernya berasal dari pasar perumahan di AS. Ide untuk menciptakan mata uang pengganti US Dollar terus mengemuka, meski sejauh ini masih sebatas ‘diskusi’. Tak kurang, Perancis saat baru saja mengambil alih kepemimpinan forum negara-negara yang tergabung dalam G-20, dimana Indonesia masuk di dalamnya, dari kepemimpinan Korea Selatan pernah ingin menjadikan hal ini sebagai agenda. Keinginan Perancis tersebut kini lenyap, konon setelah kunjungan presiden Obama ke Paris beberapa waktu lalu.
Dominasi US Dollar sebagai mata uang global, yang merupakan tulang punggung International Monetary System (IMS) saat ini bermula pasca kesepatakan Bretton Wood selepas perang dunia kedua. Awalnya, US Dollar masih dikaitkan dengan emas sehingga masih ada ‘back-up’ setiap kali penerbitannya. Namun demikian, saat presiden AS dijabat oleh Richard D. Nixon dari Partai Republik, dalam pidatonya pada hari minggu tanggal 15 Agustus 1971, secara sepihak ia menyatakan bahwa US Dollar tiak lagi dikaitkan dengan emas. Dengan pernyataannya ini, nilai US Dollar yang sebelumnya dijaga 35 US Dollar per ounce emas dan menjadi pilar sistem moneter internasional tak lagi berlaku. Nilai US Dollar akan sepenuhnya bergantung pada kepercayaan terhadap kekuatan ekonomi AS.
Saat itu sebenarnya sudah muncul kekhawatiran akan masa depan US Dollar, yang tak lagi dikaitkan dengan emas, sebagai mata uang global. Menyikapi kekhawatiran itu, dengan nada arogan, US Secretary of the Treasury saat itu, John Connally, mengeluarkan pernyataan yang sekarang terbukti dan semakin sering dikutip banyak pihak. Dia menyatakan bahwa ‘US Dollar may be our currency, but it’s your problem’ (Pontzen dan Schobert, 2011).
Ide Sucre dan pentingnya penguatan regional untuk melawan globalisasi ini juga dikemukakan oleh Pedro Paez Perez, mantan Menko Ekonomi Ekuador saat bertandang ke Indonesia awal bulan Mei ini. Perez saat ini juga merupakan anggota Komisi Stiglitz, komite yang dipelopori oleh Joseph E. Stiglitz, ekonom kondang mantan kepala ekonom World Bank dan peraih Nobel bidang ekonomi tahun 2001 yang memang terkenal kritis dalam menentang globalisasi.
Kini kondisi ekonomi AS berdarah-darah setelah membail-out industri keuangannya dan membiayai berbagai program stimulus untuk mengangkat kembali perekonomiannya. Utang pemerintah AS menumpuk dan tercatat tertinggi sepanjang sejarah. Utang pemerintah AS saat ini tercatat sebesar 14,3 triliun US Dollar dengan defisit anggaran mendekati 1.5 triliun US Dollar. Jumlah defisit anggaran tersebut berarti lebih dari 10% PDB, sepuluh kali lipat dari defisit APBN.
Jumlah nominal utang AS 14.3 triliun US Dollar tersebut merupakan jumlah maksimum yang diijinkan oleh 'parlemen'. Saat ini upaya pengajuan untuk menambah plafon utang belum mendapat persetujuan, dan bila sampai dengan awal Agustus mendatang persetujuan tidak diperoleh, kemungkinan pemerintah AS akan menelan pil pahit karena bisa jadi tak bisa melunasi utang yang jatuh tempo (default).
Tampaknya semboyan Alexander Hamilton, menteri keuangan AS ‘The United States Debt, foreign and domestic, was the price of liberty’yang terpampang di kantor Bureau of Public Debt Management kini sedang mendapat ujian terberatnya.
Secara simbolik, kekhawatiran akan kekuatan ekonomi AS juga tercermin dari penurunan outlook rating surat utang AS, dari semula stabil menjadi negatif oleh Standard & Poor’s pada tanggal 19 April 2011 lalu, meski masih dalam kategori rating tertinggi, yaitu ‘triple A’.
Meski gemas dan cemas akan masa depan US Dollar sebagai mata uang global, namun semua pihak menyadari bahwa tak mungkin ada pengganti US Dollar dalam waktu dekat. Hampir semua negara di dunia sudah terjerat ke dalamnya. Cadangan devisa bank sentral di dunia sebagian besar masih tertanam dalam bentuk surat utang AS berdenominasi US Dollar, meski sebagian mulai menaikkan porsi cadangan devisanya dalam bentuk emas.
Salah satu alternatif yang saat ini disodorkan sebagai kompromi adalah perluasan SDR (special drawing right). SDR tak lain adalah ‘mata uang’ yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF), yang nilainya didasarkan pada sekeranjang mata uang utama dunia, seperti US Dollar, Pound sterling, Euro dan Yen. Termasuk dalam kaitan ini adalah untuk memasukkan mata uang China, Renminbi, ke dalam keranjang mata uang SDR.
Keinginan untuk mengurangi dominasi US Dollar di Asia bukannya tak ada. Sebenarnya kesadaran ini sudah tercantum dalam ide Chiang Mai Initiative (CMI), yang merupakan kesepakatan para Menteri Keuangan Asean+3 (negara-negara Asean plus China, Korea Selatan dan Jepang) pasca krisis 1997/98 di Asia. Salah semangat kesepakatan tersebut sebenarnya mencerminkan keinginan untuk mengurangi dominasi US Dollar di regional Asia, paling tidak dengan mulai untuk mengurangi ketergantungan ke IMF dalam hal terjadi kebutuhan likuiditas US Dollar.
Semangat CMI tersebut sebenarnya juga mencakup penggunaan mata uang masing-masing negara di Asia dalam setelmen perdagangan antar negara Asia, meski realisasinya sampai sekarang belum terlihat. Maraknya bentuk kesepakatan bilateral penggunaan bidang mata uang antar negara Asia, yang sering dikenal sebagai Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) bisa dilihat sebagai cerminan dari semangat ini. Selain itu, meningkatnya perjanjian swap mata uang secara bilateral antara bank sentral China, People Bank of China, dengan bank sentral lain di Asia dan Amerika Latin, serta terakhir dengan Reserve Bank of New Zealand yang melibatkan Renminbi juga merupakan simbol untuk mengurangi peran US Dollar.
Saat ini, penggunaan mata uang Renminbi dalam setelmen transaksi perdagangan dengan para eksportir/importir Tiongkok, yang dilakukan di Hong Kong, sudah menunjukkan peningkatan yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan konon nilainya sudah mencapai kisaran ratusan milyar Renminbi saat ini.
Melihat perkembangan ekonomi AS, tak pelak upaya reformasi sistem moneter internasional akan terus menghangat. Namun, melihat kompleksitasnya, pencarian alternatif pengganti US Dollar sudah pasti akan menjadi bahasan dalam lebih sari satu dekade mendatang. Tentunya, polemik pasti akan diwarnai campuran antara emosionalitas dan rasionalitas!
Tantangan terbesar tentunya mengubah mindset dan perilaku pelaku perdagangan regional, para eksportir dan importir, yang saat ini sudah terbiasa dan percaya terhadap US Dollar untuk menggunakan mata uang lain dalam trasaksi regional.
Jadi, memang butuh langkah yang sistematis untuk meninggalkan US Dollar, meski sifatnya ‘baby step’ layaknya penggunaan Sucre. Perjalanan masih akan panjang, sangat panjang ...
(Sumber: The South Journal, globaleconomy.foreignpolicyblogs.com,Venezuelanalysis.com, The Wall Street Journal, GATRA, www.bbc.com, www.iie.com, money energy)
Lihat juga:
-Mau tetap merdeka? Berhutanglah ...
-Amerika Serikat Turun Peringkat ...
-Koh, beli terus dong ... Please
-Malaysia kembali ke sistem uang emas?
Konsensus Jakarta: Bukan ala Washington, bukan pula Beijing?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H