Lihat ke Halaman Asli

Jalan Bersenandung di Fujiyama

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13009635041589315072

Bayangkan saat sedang berkendara tiba-tiba terdengar alunan musik, bukan dari peralatan audio mobil kita melainkan dari jalan yang kita lewati. Sangat mengasyikkan tentunya. Itulah yang saya alami menjelang akhir Oktober lalu, saat diantar Yosino san dalam perjalanan ke gunung Fuji. Beberapa saat setelah memasuki gerbang tol Subaruline, Yosino san tiba-tiba mematikan audio lagu-lagu easy listening, termasuk beberapa lagu Indonesia yang mengiringi kami sepanjang perjalanan sekitar dua jam dari rumah kerabat, Om Endo, di bilangan Yukigaya, Tokyo. 'Saya akan berikan kejutan buat bapak', begitu kata Yosino san, sebelum sempat saya bertanya kenapa kepadanya. Saya sedikit mengernyitkan dan memandangnya. Dia kemudian mengangkat telunjuk kirinya ke dekat telinga dengan raut muka jenaka, 'bapak, dengarkan sebentar lagi', katanya. Dan ... beberapa detik kemudian terdengar sesuatu yang menakjubkan. Terdengar alunan nada yang merdu jernih, 'du du du duddu duudu dduuu', untuk beberapa detik.  

1300963588666073654

Alunan nada tadi berasal dari gesekan ban dan aspal jalanan. Rupanya tekstur aspal dibuat sedemikian rupa sehingga ketika ban mobil melindasnya, gesekan ban akan menimbulkan bunyi-bunyian yang indah. Terus terang, meski sudah pernah mendengar hal semacam ini, yang lazimnya disebut 'singing road', baru pertama kali saya benar-benar mendengar dan merasakan alunan nadanya. Dengan suasana yang mendung dan basah karena hujan rintik-rintik, suasana sepanjang perjalanan mendaki ke gunung Fuji terasa semakin indah menyegarkan. Terlebih dengan jalanan yang mulus dan lengang, serta mulainya musim ganti warna dedauan (changing color). Warna-warni dedauan hijau subur diselingi warna kuning dan merah keemasan memang sangat menawan.

 

1300963683508861700

13009637451773489551

13009638261356278307

 

Sebenarnya, saat berangkat saya sudah diwanti-wanti untuk tidak terlalu berharap banyak bisa melihat gunung Fuji karena cuaca semakin sulit diprediksi. Persis seperti mata uang Yen yang memang akhir-akhir ini juga sangat fluktuatif. Dari semula dalam kisaran 110-an Yen per US Dollar, tiba-tiba menguat tajam ke level 77-an per US Dollar dan kini di kisaran 80-an Yen per US Dollar. Memang harapan awalnya tipis ketika sudah memasuki kawasan Kawaguchi, dan bahkan saat melewati gerbang tol Subaruline, cuaca masih mendung disertai hujan gerimis.

Demikian pula saat kami sampai di Fuji Visitor Center, yang konon biasanya merupakan view point terindah karena bisa melihat gunung Fuji, yang terkenal dengan salju abadi di puncaknya, dengan leluasa masih juga gelap berkabut. Tak bisa melihat sama sekali. Untuk berjaga-jaga, kami memutuskan masuk ke visitor center sekedar untuk melihat sekilas sejarah gunung Fuji dan panoramanya di saat-saat terindah melalui film yang diputar. Kamipun kemudian melanjutkan perjalanan lebih ke atas. Syukur bisa sampai ke view point kelima (5th station), yang biasanya ditutup manakala cuaca jelek atau bersalju. Untung semakin ke atas, cuaca tiba-tiba berubah cerah meski hanya sekilas. Seolah hanya memberi kesempatan ke saya untuk sekedar melihat keindahan panorama Fujiyama.

Cuaca cerah sebentar tadi, kami temui di 3rd station. Yosino san pun mengajak kami berhenati sebentar untuk menikmati cuaca segar dan pemandangan gunung Fuji. Tak lupa, dia, tanpa diminta menawarkan diri untuk memotret saya dengan latar belakang gunung Fuji dengan foreground dedaunan yang sudah mulai berubah warnanya. Beberapa pengunjungpun rupanya melakukan hal serupa. Kami hanya berhenti sebentar dan melanjutkan perjalanan menuju 5th station, yang konon merupakan tempat yang paling bagus untuk menikmati pemadangan Fujiyama.

Dan benar, sungguh beruntung kami saat itu. Sesampai di sana, cuaca mendadak berubah cerah sekali. Sayapun cukup leluasa menikmati pemandangan gunung Fuji dan taman-taman kecil khas Jepang yang indah terawat, dengan dedaunan yang mulai kuning dan merah keemasan. Sayang saya tak bisa melihat 'topi' gunung Fuji yang putih bersalju. Padahal biasanya, salju senantiasa menghiasi puncak Fujiyama. Ketika saya tanyakan ini ke Yosino san, dia mengatakan (sambil tersenyum), 'mungkin ini dampak pemasanan global pak'.

Tak lupa Yosino san menawarkan diri untuk membeli roti khas gunung Fuji yang sungguh sangat nikmat. Roti berwarna putih berbentuk gunung Fuji ini terasa makin nikmat di tengah cuaca yang semakin terasa dingin.

Tak sampai 30 menit, tiba-tiba cuaca kembali gelap dan turun gerimis. Kamipun segara masuk mobil dan meluncur kembali ke arah Tokyo untuk bergabung dengan Om Endo dan kerabat untuk makan malam di restoran shabu-shabu yang konon terenak di dunia. Sembari menyantap shabu-shabu yang kuahnya memang mantap sekali, saya masih terbayang keindahan panorama Fujiyama. Saya merasa sangat beruntung sekali bisa menikmati panorama indah di Fujiyama hari itu. Domo arigato Endo san dan Yosino san.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline