Lihat ke Halaman Asli

Divide Et Impera: Warisan Penjajah yang Masih Disuka

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Negeri bekas jajahan yang sudah merdeka lazimnya mewarisi banyak hal dari bekas penjajah. Mestinya hal-hal yang baik yang dilestarikan dan disempurnakan, karena tujuan merdeka tentunya untuk membangun bangsa. Menyejahterakan seluruh rakyatnya.

[caption id="attachment_246309" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi:hamidahmed.wordpress.com"][/caption]

Warisan penjajah tentu ada yang baik dan ada yang buruk. Yang buruk harus disingkirkan, dibuang jauh-jauh. Banyak warisan penjajah Belanda yang sampai saat ini masih subur di negeri ini. Bahkan cenderung digemari. Sayangnya, yang digemari justru hal-hal yang buruk sifatnya. Hal yang baik justru dilupakan.

Konon, Belanda dulu menjajah Indonesia selama sekitar 350 tahun lamanya. Begitu pandangan masyarakat pada umumnya yang selama ini ada dari pelajaran sejarah. Beberapa sejarawan mencoba mengoreksi hal tersebut. Salah satunya Ichwan Azhari, sejarawan dari Universitas Negeri Medan, yang menyatakan bahwa yang benar adalah bahwa Belanda membutuhkan waktu cukup lama (300 tahun) untuk bisa menaklukan berbagai kerajaan di Nusantara (Kompas.com, 15 Agustus 2010). Namun yang pasti, Belanda menjajah Indonesia cukup lama.

Menurut sejarah, keberhasilan Belanda menaklukan Indonesia adalah karena strategi divide et impera yang diterapkannya. Strategi memecah belah, atau mengadu domba, berbagai kekuatan yang ada di Nusantara. Dengan kekuatan yang dipecahbelah ini, memudahkan Belanda untuk menguasai Nusantara. Dalam bahasa sekarang mungkin Belanda menjadi ‘kompor’ dengan memanfaatkan beragam isu, dengan memberikan instentif tertentu kepada kelompok-kelompok masyarakat agar saling beradu kekuatan.

Rasanya, praktik seperti itu masih marak sampai saat ini. Para tokoh masyarakat atau ‘elite’ bangsa masih terkesan menggemari strategi adu domba ini. Termasuk dengan memanfaatkan kelompok-kelompok organisasi massa. Mereka, para tokoh, cenderung memanfaatkan situasi untuk mengadu domba lapisan masyarakat yang bersilang pendapat. Lebih senang menjadi ‘kompor’ daripada mengedepankan musyarawarah untuk mufakat atas setiap perbedaan yang muncul di masyarakat.

Padahal, masyarakat Indonesia sangat beragam. Jelas banyak sekali isu perbedaan yang bisa menjadi pemicu pertentangan dan kemarahan. Bhinneka Tunggal Ika, yang mengedepankan toleransi, terlihat semakin menjadi slogan dan pajangan. Semakin jauh dari perilaku sehari-hari, khususnya dari sebagian pemuka masyarakat dan pembentuk opini di berbagai media.

Dengan dalih check and balance di alam demokrasi yang sedang dibangun, mereka cenderung memilih cara yang ‘pedas’, sarkastis dan seringkali provokatif dalam memberikan kritik. Bahkan, kritik yang dikatakan untuk membangun, seringkali tanpa disertasi dengan saran atau solusi.

Bukan hal yang mengherankan tentunya bila masih banyak kekerasan, saling timpuk dan saling tendang di masyarakat. Mirip ketika Belanda menjajah dulu, masyarakat dipecah-pecah. Semoga bukan generasi ‘brangasan’ yang tidak sabaran yang sedang terbentuk saat ini.

Hal buruk yang juga masih dengan mudah ditemukan ada di ranah hukum. Banyak sekali produk-produk hukum jaman Belanda yang masih menjadi rujukan sampai saat ini. Padahal, kondisi sudah sangat jauh berbeda. Bahkan, konon produk hukum tersebut tak lagi ada di negeri asalnya, Belanda.

Tak bisakah para ahli hukum yangmakin bejibun jumlahnya dan para wakil rakyat sebagai ‘lawmakers’ menyempurnakannya? Membuat perundangan dan ketentuan yang lebih sesuai dengan keadaan, yang walau tidak akan pernah hitam putih namun bisa cukup jelas. Ataukah memang hal tersebut sengaja masih dibiarkan agar bisa menjadi senjata untuk meraih berbagai ‘tahta’ yang memang semakin banyak tersedia saat ini?

Contoh warisan buruk lain yang masih lestari adalah amburadulnya koordinasi antar institusi/instansi. Ini juga bisa dikatakan sebagai buah dari praktik divide et impera. Budaya tak mau kehilangan ‘kekuasaan’, bahkan atas sekumpulan data, sehingga menimbulkan apa yang disebut ego sektoral. Penyakit akut berupa wawasan picik dari birokrasi negara yang terbukti sulit dikikis.

Di sisi lain, peninggalan penjajah yang baik justru diabaikan. Tengok misalnya bagaimana urat nadi transportasi, atau jalur distribusi barang dan jasa di Jawa saat ini masih mengandalkan produk jaman penjajahan. Jalur jalan Anyer – Panarukan, yang dibangun Daendels (Herman William Daendels) masih menjadi tulang punggung jalur transportasi, termasuk untuk ritual mudik lebaran. Juga jalur kereta api di Jawa dan Sumatra. Kualitas jalan tersebut ternyata terbukti masih jauh lebih baik dari jalan produksi masa kini.

Tentu sisi baik dari bagaimana praktek mewujudkan kualitas jalan tadi yang diambil. Bukan sisi gelap penindasan dan pembunuhan rakyat yang dilibatkan untuk membangunnya. Paling tidak, model penilaian kinerja terhadap para penguasa daerah yang terlibat dalam membangun infrastruktur dapat diterapkan. Sekali lagi, tentu dalam format yang berbeda dengan yang diterapkan sang gubernur jenderal Daendels dimasanya!

Indonesia sudah merdeka 65 tahun lamanya. Sudah mereformasi diri dalam bernegara lebih dari 10 tahun. Sudah saatnya tahu persis bahwa hanya dengan membangun ekonomi bangsalah maka kedaulatan negara akan dapat bertahan. Penjajahan modern mengandalkan kekuatan ekonomi, bukan senjata.

Para ‘elite’, baik yang sedang berkuasa maupun menunggu untuk berkuasa, hendaknya sadar bahwa pada saatnya ketika berkuasa tidak akan berdaulat sepenuhnya bila ekonomi bangsanya tidak kuat.

Mudah-mudahan mereka semua semakin berbesar jiwa untuk kemaslahatan seluruh bangsanya. Meninggalkan hobinya mengadopsi politik divide et impera sembari secara lekat mengawal reformasi bangsa. Bukan hal yang mudah memang karena kuncinya ada di kebesaran jiwa, tapi bukan hal yang muskil juga. Apalagi jaman sudah semakin terbuka, tak mudah mestinya menyembunyikan udang di balik batu.

Sayangnya, keterbukan yang semakin lebar belum menjadi sarana komunikasi untuk penyamaan pengertian dan menumbuhkan kepercayaan. Keterbukaan masih lebih digunakan sebagai sarana perang opini. Masa rebutan membentuk opini di media massa memang harus dilalui sebagai bagian dari transisi dan pendewasaan. Namun jangan sampai ini berlangsung terlalu lama sehingga semakin melanggengkan budaya adu domba.

Jangan sampai memilih sisi yang salah dari pedang bermata dua kebebasan dan keterbukaan.

Sungguh sayang bila keterbukaan, kemajuan media massa dan semakin cepatnya sebaran informasi justru menjadi bumerang bagi bangsanya sendiri karena tidak dewasanya para tokoh penggunanya.

Tulisan terkait:

Penjuru Mata Angin

Keremangan Dorong Kecurangan

Dibalik Sudut Pandang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline