Lihat ke Halaman Asli

SEC, Sex dan Goldman Sach

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

  [caption id="attachment_126120" align="alignleft" width="150" caption="Daerah Wall Street : Priyanto B. Nugroho"][/caption]  

Sungguh luar biasa, mencengangkan! Benar-benar membuktikan bahwa setiap tragedi akan mengungkap banyak kebobrokan yang sebelumnya terselubung. Krisis ekonomi hebat yang melanda dunia, bersumber dari hancurnya pasar finansial Amerika Serikat (AS) yang puncaknya terjadi akhir 2008 lalu ternyata menyimpan beragam borok di dalamnya.

Kebobrokan bermula dari terungkapnya ‘manipulasi’ akuntansi oleh Lehman Brothers dengan transaksi repo ‘105’nya (lihat ‘Borok Lehman Brothers terungkap : Repo 105’). Yang kini sedang hangat menyangkut Goldman Sach, salah satu institusi keuangan raksasa di AS dengan transaksinya yang dikenal dengan ‘Abacus’ CDOs (Collateralised Debt Obligations). Goldman Sach sendiri merupakan institusi keuangan yang sampai saat ini masih mencatatkan diri sebagai yang paling menguntungkan di AS.

Transaksi Abacus CDO ini, singkatnya merupakan transaksi derivative terkait dengan sekuritisasi kredit perumahan kurang layak (sub-prime mortgage), yang dipasarkan oleh Goldman Sach. Transaksi ini dinilai ‘menyesatkan’ dan merugikan salah satu ‘BUMN’ lembaga pembiayaan Jerman, IKB yang rugi 150 juta US Dollar. Pengemasan transaksi ini melibatkan banyak pihak, termasuk beberapa lembaga pemeringkat (rating agency) yang karenanya, kini juga semakin menjadi sorotan.

Di sisi lain, transaksi Abacus CDO ini sendiri menghasilkan keuntungan milyaran US Dollar bagi perusahaan Paulson & Co. Perusahaan ini, yang merupakan salah satu hedge fund terbesar di dunia, adalah penggagas jenis transaksi tersebut yang kemudian disodorkan ke Goldman Sach untuk mengemasnya.

Tuntutan hukum serupa terhadap Goldman Sach juga akan dilakukan oleh otoritas di berbagai negara, seperti Korea Selatan, Inggris dan tentu saja Jerman.

Atas transaksi Abacus tersebut, Goldman Sach ‘dihukum’ oleh Securities and Exchange Commission (SEC) tanggal 16 April 2010 lalu (Siaran Pers SEC). SEC merupakan otoritas pengawas pasar finansial, semacam Bapepam-LK di AS.

Meski demikian, suara SEC sendiri dalam memutuskan apakah Goldman Sach dinilai melakukan pelanggaran atau tidak terpecah, yaitu 3 berbanding 2. Tak heran karena transaksi derivatif Abacus ini memang ‘njlimet’, sangat kompleks.

Kejadian menyangkut Goldman Sach ini, awalnya terkesan akan semakin memuluskan niat Presiden Obama mereformasi pasar finansial di AS yang berpusat di kawasan Wall Street. Agenda yang jelas mendapat banyak tentangan dari kubu Wall Street dan semula mendapat banyak rintangan dari pihak Partai Republik.

Kini, setelah tuntutan ke Goldman Sach oleh SEC bergulir, muncullah isu bahwa ternyata para pejabat teras di SEC kecanduan situs komputer pornografi. Terungkap bahwa banyak pegawai dan pejabat teras di SEC terbukti asyik membuka situs-situs berbau sex dan pornografi selama berjam-jam di jam kantor, dalam beberapa tahun terakhir.

Jelas bahwa temuan atas hal tersebut merupakan ‘serangan balik’ yang telak ke kubu SEC dan mengancam kredibilitas SEC. Meski sebenarnya pihak SEC sudah menyatakan bahwa para pejabat yang melanggar aturan tersebut telah ditindak.

Tentu akan banyak pihak yang marah dan menyalahkan SEC terkait dengan aspek lemahnya pengawasan sehingga terjadilah krisis hebat tadi. Bagaimana tidak? Para pejabat yang seharusnya mengawasi pasar finansial agar dapat berjalan baik sesuai koridor justru asyik masyuk memelototi dan mengunduh beragam situs porno.

Temuan tadi terungkap dari memo inspektur jenderal SEC bernama David Kotz atas permintaan Senator dari Partai Republik Iowa, Charles Grassley. Hal ini pertama kali diberitakan oleh ABC News, Kamis sore tanggal 22 April 2010 lalu.

Tak jelas apakah terungkapnya hal tersebut merupakan politisasi atas tuntutan Goldman Sach dan juga terkait dengan ‘perdebatan’ antara kubu Partai Demokrat dengan kubu Partai Republik di AS. Namun susah untuk tidak mengkaitkannya.

Ataukah hal tersebut mirip dengan lelakon Century, Cicak vs Buaya dan Mafia Pajak yang silih berganti mengemuka di Indonesia?

Menyangkut politik, barangkali benar apa yang dikatakan John Kenneth Galbraith bahwa politik selalu menyangkut antara yang menghancurkan dan yang tidak mengenakkan (Politics is not the art of the possible. It consists in choosing between the disastrous and the unpalatable)

Nah kembali ke masalah kecanduannya para pejabat SEC dengan situs-situs berbau sex dan pornografi tadi, inilah antara lain temuannya:

-Terdapat 33 kasus yang ditemukan dalam 2,5 tahun terakhir.

-Seorang pejabat senior bagian legal ketahuan membuka situs-situs porno selama rata-rata 8 jam sehari.

-Seorang pejabat (akuntan) telah ketahuan membuka situs porno sebanyak 16.000 kali.

-Kasus serupa terus meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2008, saat krisis meledak ditemkan 16 kasus.

Rata-rata pejabat yang ketahuan melakukan tindakan tak terpuji tersebut bergaji rata-rata 222,418 US Dollar setahun (sekitar 167 juta rupiah sebulan).

Temuan tersebut jelas memukul para pejabat SEC yang sedang bertarung secara hukum melawan Goldman Sach. Bahwa kejadian tersebut bukan mencerminkan mayoritas pegawai dan pejabat SEC mungkin menjadi tidak penting. Yang pasti, reputasi profesionalisme SEC tercoreng.

Kejadian yang sebenarnya berlangsung beberapa tahun lalu, baru muncul dan mengemuka sekarang sesudah tuntutan terhadap Goldman Sach terjadi, semakin menguatkan adanya unsur politisasi. Sesuatu yang memang lumrah di tengah tendensi politik menjadi panglima di hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia tentunya.

Yang jelas, soal pengendalian terhadap jaringan internet di kantor-kantor rasanya sih saat ini di Indonesia lebih maju. Beberapa kantor, terutama kantor dan instansi pemerintah sudah banyak yang memblok situs-situs berbau pornografi.

Hal yang pasti, semakin menguatkan bahwa pada akhirnya semuanya kembali ke masalah hati nurani dan moral!

(Sumber: The Financial Times, The New York Time, TIME, International Herald Tribune, MSNBC.com dan website SEC)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline