Lihat ke Halaman Asli

Akuntansi memperparah krisis?

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Luca Pacioli, mungkin tak pernah membayangkan bahwa perkembangan salah satu karyanya ikut dikait-kaitkan dengan krisis yang melanda dunia keuangan.

[caption id="attachment_136247" align="aligncenter" width="298" caption="Luca Pacioli (www.1st-art-gallery.com/Jacopo-De-Barbari)"][/caption]

Siapa sebenarnya Luca Pacioli, yang bernama lengkap Fra Luca Bartolomeo de Pacioliini?

Tak lain dialah yang dikenal sebagai bapak akuntansi, meski sejatinya dia seorang ahli matematika dari Italy. Dia hidup di periode tahun 1400an dan berteman dekat dengan Leonardo Da Vinci, sang pelukis legendaris yang menyukai matematika khususnya menyangkut proporsionalitas.

Sekarang akuntansi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam industri keuangan. Padahal, awalnya akuntansi seperti yang dikenal saat ini, hanyalah salah satu bab dari buku matematika yang ditulis Pacioli berjudul “The Collected Knowledge of Arithmetic, Geometry, Proportion and Proportionality”. Bab tersebut sebenarnya berisi penjelasan Pacioli atas metode hitung yang dipraktekkan para pedagang di Venesia, Italy. Penjelasan logika dibalik cara-cara yang digunakan para pedagang Venesia tersebutlah yang kemudian menjadi cikal bakal ‘ilmu’ akuntansi. Dari situlah sebenarnya pola ‘debet’ dan ‘kredit’ (double entry atau T-account) berasal. Juga dalam hal penggunaan jurnal dan buku besar untuk menyusun laporan keuangan atau neraca suatu perusahaan (L. Murphy Smith, Oktober 2008).

Nah, dalam krisis hebat yang melanda tahun 2007/08 lalu, beberapa kalangan beranggapan bahwa akuntansilah yang mempercepat sekaligus memperparah krisis keuangan. Bagian dari akuntansi yang menjadi sorotan adalah konsep (standar) akuntansi yang disebut ‘mark-to-market’ (MtM). Konsep ini berkembang di tahun 1980an dan sejak tahun 1990an banyak diterapkan oleh institusi keuangan (perbankan) di AS. Singkatnya, dengan MtM ini maka aset perbankan yang berwujud surat utang atau surat-surat berharga (SSB) nilainya harus ‘dihitung’ ulang setiap saat. Nilai SSB tersebut mesti disesuaikan dengan perkembangan harga yang ada di pasaran. Dengan cara itu maka akan diketahui nilai terkini yang dianggap paling wajar (fair market value) dari setiap SSB yang dimiliki bank.

Informasi nilai termutakhir atas SSB ini awalnya lebih untuk keperluan internal perusahaan, yaitu agar manajemen dapat memonitor naik-turunnya nilai aset yang dimiliki setiap saat. Dengan begitu pihak manajemen dapat melakukan langkah yang dianggap perlu dengan cepat. Misalnya, dengan menjual SSB yang harganya sudah tinggi untuk memperoleh keuntungan (capital gain) apabila harganya diperkirakan akan segera turun. Atau, menjual SSB yang harganya sudah turun cukup besar agar kerugian yang diderita tidak bertambah besar bila diperkirakan harganya akan terus merosot. Hal ini lazim disebut sebagai tindakan ‘cut loss’.

Awalnya SSB ini dicatat di neraca bank sesuai dengan harga pada saat dibeli atau harga perolehan (historical cost). Harga pada saat pembelian bisa lebih besar atau lebih kecil dari nilai yang tercantum dalam SSB tersebut (nilai nominal). Metode ini didasari pemikiran bahwa harga pada saat pembelianlah yang dianggap paling obyektif karena ada bukti tertulis atas pembelian suatu SSB. Siapa saja dapat melakukan uji kebenaran atas angka yang digunakan tersebut (reliabel).

Namun, karena harga SSB di pasaran selalu berubah maka nilai pada saat pembelian tersebut tidak lagi menunjukkan nilai SSB saat ini. Dengan begitu tidak bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam bisnis. Untuk itu, agar memberikan informasi yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini maka SSB tersebut harus disesuaikan dengan harga saat ini (dilakukan MtM). Dengan MtM maka nilai SSB yang ada di neraca bank menjadi lebih relevan. Di dalam akuntansi, pilihan antara ‘reliabilitas’ dan ‘relevansi’ ini seringkali sangat menyulitkan (merupakan trade-off).

Lantas apa kaitannya hal tadi dengan krisis yang baru saja mengguncang dunia tahun 2008 lalu? dan mengapa banyak kalangan yang menyalahkan praktik akuntansi tadi?

Singkat cerita pada saat krisis waktu itu, semua bank ingin menjual SSB selain yang diterbitkan pemerintah AS (UST Bills atau UST Bonds). Mengapa?

Paling tidak ada dua hal yang menjelaskan. Pertama, bank-bank tidak lagi saling percaya sehingga mereka tak mau bertransaksi satu dengan lainnya. Mereka saling curiga siapa lagi yang akan ambruk seperti Lehman Brothers. Akibatnya likuiditas di pasar berhenti mengalir (kering). Untuk memperoleh likuiditas mereka harus menjual SSB karena awalnya pembelian SSB tadi didanai dari utang atau pinjaman di pasar uang (praktik ini sering disebut sebagai leveraging). Kedua, mereka tidak lagi percaya pada SSB yang dinilai berisiko tinggi termasuk SSB yang diterbitkan negara berkembang, termasuk Indonesia. Kepanikan seperti inilah yang membuat krisis merambat dengan cepat ke seluruh dunia melalui pasar keuangan. Dalam kondisi seperti itu, semua lebih senang memegang cash atau surat utang AS yang mereka anggap paling aman (fenomena flight to quality).

Nah kaitannya dengan MtM adalah bahwa karena semua pihak ingin cepat-cepat menjual SSB maka harga SSB akan terus anjlok. Semua berebut menjual dengan menawarkan harga yang lebih murah. Dalam situasi normal, pasti akan ada yang beli ketika harga sudah dianggap terlalu murah namun ini tidak terjadi waktu itu.

Yang menjadi sorotan adalah timbulnya kepanikan tadi terutama karena para bankir dan manajer investasi takut dinilai kinerjanya terus merosot ketika dilakukan MtM sehingga tidak akan memperoleh bonus. Mereka berlomba-lomba melakukan cut loss. Balapan untuk menjual secara besar-besaran SSB selain UST Bills tadi, menyebabkan pemerosotan harga SSB semakin cepat. Kepanikanpun menjalar secara instan ke seantero penjuru dunia termasuk di Indonesia. Harga obligasi pemerintah (SUN) pernah terjun bebas saat krisis melanda dunia. Indeks harga SUN (IDMA Indeks) yang semula di atas 95%, anjlok menjadi tinggal 67% di bulan November 2008. Harga tadi merupakan level terendah yang pernah terjadi sepanjang sejarah pasar obligasi pemerintah yang mulai berkembang sejak tahun 2002.

Lantas dimana letak keanehannya? Nah, yang menjadi pangkal keributan adalah bahwa dalam situasi ketika semua orang berlomba mengobral harga SSB, apakah indikasi harga yang ada di pasar tadi merupakan harga yang dapat dianggap wajar? Apakah harga SSB saat itu benar-benar semurah itu? Banyak pihak yang tidak percaya bahwa harga SSB adalah seperti yang diindikaskan di pasar waktu itu. Di Indonesia sendiri waktu itu, rasanya tidak ada yang benar-benar menjual SUN-nya dengan harga 67% dari nilai nominal. Kalau ada yang menjual di harga itu maka berarti dia benar-benar merealisasikan kerugian besar tadi, sesuatu yang hampir mustahil bila bukan benar-bena karena kepepet .

Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa saat itu yang disebut ‘pasar’ itu memang tidak ada.

Mengapa? karena semua menjadi ‘penjual’, tidak ada yang jadi ‘pembeli’. Padahal, yang namanya pasar tentu ada penjual dan ada pembeli. Jadi kalau pasar tidak ada, maka seharusnya tidak ada pula harga pasar. Apalagi harga pasar yang wajar karena saat itu semua berperilaku tidak wajar. Dengan begitu maka MtM tadi seharusnya tidak bisa dilakukan karena harga patokannya memang tidak ada.

Hal itulah yang mendasari anggapan bahwa metode MtM dalam akuntansi telah ikut memperparah krisis yang dampaknya masih terasa hingga sekarang dan pemulihannya pasti akan memerlukan waktu tahunan mendatang.

Kejadian tidak adanya pasar SSB seperti itulah, yang memaksa beberapa bank sentral harus menjadi pihak pembeli. Selain untuk menggelontorkan likuiditas agar pasar uang kembali berjalan, juga mencoba memulihkan pasar SSBnya, sekaligus kredit kembali berjalan. Bank sentral Inggris (Bank of England), misalnya harus membeli sekitar 200 milyar poundsterling SSB, sementara bank sentral AS (the FED) harus membeli sebesar hampir 1,2 triliun US Dollar SSB. Kelak, hal inilah yang membuat kedua bank sentral tadi bernasib sama dengan Bank Indonesia yang hidup dengan banjir likuiditas. Pada saatnya, kedua bank sentral tadi harus pula mengeluarkan insrumen serupa sertifikat bank Indonesia (SBI) agar ekonomi justru tak semakin tenggelam.

Jadi, seharusnya bukan MtM akuntansi yang dijadikan kambing hitam. Meskipun kalau memang situasi menyebabkan tidak ada yang namanya ‘pasar’, MtM seharusnya juga tidak bisa diterapkan. Pengecualian seperti ini telah coba dilakukan di beberapa negara.

Yang jauh lebih mendasar sebenarnya adalah perilaku para pemain pasar itu sendiri. Mereka cepat panik ketika situasi memburuk dan mudah bertindak tidak rasional. Ini sebenarnya cerminan perilaku yang tamak. Ketamakan selalu berpasangan dengan tindakan kurang perhitungan. Istilah kerennya, manajemen risikonya lemah (too much greed, too little fear).

Ini semua terjadi karena iming-iming keuntungan besar seringkali membutakan perhitungan risiko, atau membuat risiko tidak diukur dengan benar. Nah, ketika risiko dianggap semakin nyata mereka akan mudah sekali panik dan berbalik seratus delapan puluh derajad. Artinya, risiko menjadi dihitung sangat berlebihan, bahkan sama sekali dihindari. Jadi nggak ada lagi yang namanya pengelolaan risiko, yang ada adalah penghindaran risiko. Akibatnya, ya itu tadi, pasar menghilang termasuk pasar kredit perbankan.

Namun ketika situasi membaik, mereka akan segera berlomba kembali mencari untung yang lebih besar dan kembali menganggap enteng  risiko untuk menebus kerugian yang telah terjadi selama krisis.

Bila perilaku ini tidak dihentikan, krisis pasti akan terjadi lagi, dan akan jauh lebih dahsyat !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline