Lihat ke Halaman Asli

Penjuru Mata Angin

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Renungan yang disampaikan Pak Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Pengurus Muhamadiyah selalu menarik karena selalu ada kearifan hakiki yang disampaikan, sebagaimana dalam tulisannya pagi ini, 18 Februari 2010, di harian Kompas. Beliau menceritakan cahaya kearifan dan kemurnian nurani seorang tukar cukur tua di Jogja yang bernama Muhammad Supardjono, yang semakin langka di negeri ini, untuk mengingatkan kita semua.

Di luar pesan yang beliau sampaikan, ada hal yang sangat menarik bagi saya, yaitu cara beliau mengilustrasikan pesannya dengan menggunakan arah mata angin untuk menunjukkan tempat tinggal Bapak tua tukang cukur tersebut, yaitu arah timur dan utara. Penggunaan empat penjuru mata angin ini seingat saya memang biasa di beberapa kota di Jawa Tengah untuk menunjukkan suatu lokasi. Namun tidak biasa di kota lain, misalnya di Jakarta. Saya yang pernah tumbuh dan besar di Solo dan Jogja seringkali, tanpa sadar menggunakan pendekatan arah mata angin ini untuk menunjukkan suatu tempat kepada orang lain. Tetapi biasanya, orang tersebut malah semakin bingung.

[caption id="attachment_76883" align="alignleft" width="300" caption="Photo: Priyanto B. Nugroho"][/caption]

Mungkin memang susah bagi orang yang besar dan tinggal di kota besar, seperti di Jakarta untuk mengenali arah mata angin ini karena kota besar tertutup hutan beton dan jarang melihat matahari terbit dan tenggelam. Apalagi banyak jalan pembelah bagian kota yang tidak lurus dan berkelok-kelok. Akan semakin sulit untuk berpegang pada penjuru mata angin. Mereka hanya bisa melihat matahari di siang hari. Itupun kalau kebetulan tidak sedang mendung dan kabut polusi sedang tidak membungkus bumi Jakarta. Bagi mereka, akan lebih mudah untuk menggunakan petunjuk ke kiri atau ke kanan. Sesuatu yang sifatnya relatif dan tergantung dimana kita berada. Padahal sebenarnya, wilayah Jakartapun terbagi berdasarkan penjuru mata angin ini. Ada JakartaPusat di tengah, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan.

  Untuk mengenali arah mata angin, barangkali bagi mereka yang tinggal di Jakarta terpaksa akan memerlukan Kompas, sebagaimana seorang yang sedang berada di hutan atau padang gurun yang  mudah tersesat bila kehilangan Kompas.

Mudah-mudahan tidak lazimnya penggunaan penjuru mata angin bagi masyarakat kota besar seperti Jakarta, tempat tinggal para pejabat teras, para politisi dan para pengusaha besar ini tidak menjadi pertanda bahwa mereka semua mudah kehilangan arah. Semoga pula, bukan pertanda cikal bakal carut marut yang terus berlangsung yang membuat masyarakat kebanyakan menjadi semakin sengsara.

Para elit tersebut yang tinggal di kota besar adalah mereka yang menjadi penentu bangsa karena mereka memegang mandat, memiliki kemampuan untuk mengambil atau mempengaruhi kebijakan bagi 200-an juta rakyat. Tentunya akan celaka kita semua bila mereka mudah tersesat dan hanya mengikuti kemana angin bertiup.

Seperti yang diingatkan Pak Ahmad Syafii Maarif dalam tulisannya di harian Kompas pagi ini, mudah-mudahan para pemangku mandat dan para pengambil dan pelaksana kebijakan republik ini akan tetap berpegang pada nurani. Dengan tetap berpegang pada hati nurani tentunya penyelesaian kisruh seperti kasus Century tidak justru membuat rakyat banyak benar-benar merugi dan hakekat sesungguhnya kemerdekaan yang memakmurkan dan menyejahterakan seluruh rakyat menjadi semakin tidak terpenuhi. Semoga …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline