Makassar, kota di wilayah tengah indonesia ini dengan kapadatan penduduk 1,5-2 juta orang adalah kota yang bising dalam berlalu lintas, hal ini wajar jika melihat trend penjualan kendaraan roda empat, satu pabrikan saja bisa menjual 20.000 sd 25.000 atau dalam setahun bisa terjual 300 ribu mobil, belum lagi menghitung jumlah penjualan kendaraan roda dua. Dari sisi ekonomi jelas ini adalah hal yang positif, namun dari sisi transportasi ini jelas jadi alarm merah, yang membuat Makassar menjadi kota yang tidak ramah dalam berlalu lintas.
Pertumbuhan pembelian kendaraan selain menjadi sinyalemen bahwa transportasi publik belum maksimal, juga menjadi kewaspadaan kita bersama bagaimana mewujudkan jalanan yang ramah, bagi pengguna jalan raya termasuk para pejalan kaki.Untuk mewujudkan hal ini jelas perlu kesadaran bersama dari pemerintah dan masyarakat.
Belum lama ini di Makassar seorang remaja tewas gagal freestyle motor. Remaja berusia 16 tahun tanpa helm melakukan freestyle di atas roda dua dan boom kepalanya pecah! suatu hal yang sangat menyesakkan. Hal ini menjadi peringatan keras khususnya bagi warga makassar tentang pentingnya keselamatan di jalan raya.
Keamanan di jalan raya salah satunya dimulai dari menumbuhkan kecerdasan dalam berlalu lintas, kecerdasan ini dapat terbentuk melalui beberapa faktor:
a. Faktor penegakan hukum
penegakan hukum dalam berlalu lintas menjadi salah satu hal yang harus terpenuhi, dengan sudah tidak dizinkannya melakukan tilang di jalan raya, penegak hukum mesti tetap melakukan tugasnya. Ada beberapa alternatif buat menimbulkan kecerdasan berlalu lintas melalui jalan penegakan hukum
- penghentian kendaraan yang melanggar rambu dan atau tata cara berlalu lintas dengan mencabut kunci motor selama sejam dan mesti membaca buku aturan berkendaraan selama masa hukuman tersebut. Hal ini akan menimbulkan efek jera bagi para pengguna yang selalu ugal-ugalan dan terburu-buru di jalan raya
- memaksimalkan tilang elektronik, selain akan menambah keuangan pemerintah, tilang yang efektif akan membuat pengendara menjadi jera dan lebih peduli lagi dengan aturan jalan raya
- penambahan aturan berupa sanksi sosial berupa hukuman menjadi pekerja sosial sebagai pengatur jalan raya selama beberapa beberapa jam
b. Faktor lingkungan keluarga
Lingkungan keluarga sendiri mesti menjadi titik awal kecerdasan berlalu lintas, mulai dengan tidak memberikan anak kendaraan atau mengendarai kendaraan sendiri sebelum cukup umur. Hal ini mesti ditanamkan pada keluarga kita, karena kecerdasan berlalu lintas di jalan raya bukan hanya soal tahu cara menggunakan kendaraan, paham aturan lalu lintas, tapi mental dan ego dalam berkendara. Tidak jarang terjadi remaja yang ugal-ugalan karena terpancing oleh temannya atau mau terlihat keren namun justru menjadi petaka seperti kasus remaja yang tewas gara-gara mencoba free style tadi.
c. Faktor kolaborasi penegak hukum dan sekolah
anak-anak kita yang di bawah umur tampak bebas mengendarai kendaraan ke sekolah, selain lebih efektif bagi orang tua juga efektif bagi anak-anak tersebut, namun bisa jadi ini adalah sebuah awal kesalahan kita. Oleh karena itu Penegak Hukum mesti masuk ke sekolah-sekolah mengajarkan tentang lalu lintas secara konsisten disertai penindakan terhadap anak di bawah umur yang belum selayaknya membawa kendaraan sendiri tapi membawa kendaraan ke sekolah. Sanksi ini dapat berupa sosial seperti melapor buat bersih-bersih sekolah selama beberapa jam atau sanksi lainnya yang dianggap lebih efektif. Penerapan pengawasan ini mesti dilakukan secara konsisten, setelah dilakukan penegak hukum, maka mesti dilanjutkan secara konsisten oleh pihak sekolah.
Pada akhirnya mewujudkan masyarakat yang cerdas berlalu lintas bukanlah hal yang mudah, perlu kesadaran bersama dan gerak serirama yang konsisten dari penegak hukum, otoritas pendidikan dan keluarga.