Lihat ke Halaman Asli

koko anjar

Seorang penikmat senja dengan segala romantikanya. Menyukai kopi dan pagi sebagai sumber inspirasi dan dapat ditemui di Hitsbanget.com.

Bukan tentang Aku atau Kamu, tapi Menikah Itu tentang Kita

Diperbarui: 1 Maret 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: springsweddings.com

Bagi kebanyakan orang, menikah itu adalah akhir dari sebuah fase pencarian, klimaksnya suatu hubungan. Tidak ada yang salah dari anggapan tersebut. Ketika kita memutuskan untuk menyatakan cinta kepada orang yang kita sayangi, itulah tahapan awal dari pencarian kita. Berlanjut ke tahapan berikutnya adalah pacaran. Sebenarnya, dalam ajaran agama yang saya anut, tidak mengenal adanya istilah pacaran, adanya taaruf. Tapi bagi saya, baik pacaran atau taaruf itu tidak jauh berbeda, intinya untuk saling mengenal dan memahami karakter pasangan. Kalaupun ada sisi negativnya, itu saya kembalikan ke pribadi masing-masing.

Dalam fase pacaran tersebut, tidak semua hal berjalan sesuai dengan rencana. Sudah pasti, banyak suka dan duka yang dialami. Mulai dari manisnya hari-hari pertama jadian, susahnya backstreet, pedihnya ketika harus menjalani LDR, sampai hancurnya perasaan ketika diselingkuhi. Anggap saja itu semua ujian. Bagi kamu yang tidak tahan, tinggal ambil keputusan untuk putus. Tapi bagi kamu yang dinyatakan "lulus", maka kamu akan lanjut ke fase dimana kata "putus" atau "udahan" sudah dihilangkan dari kamus relationshipmu, menikah.

Setelah menjalani berbagai rintangan dan ujian yang luar biasa selama pacaran, maka menggelar pernikahan adalah suatu puncak keberhasilan. Betapa leganya kamu setelah ijab qobul di depan penghulu. Apalagi teriakan "SAH" yang terdengar menggelegar soalah menjadi penyempurna moment perjuanganmu dulu selama pacaran. Dan kemudian, dimulailah perjalanan panjang itu. Suatu lembaran baru dalam kehidupanmu. Yang pada akhirnya akan membuatmu tersadar, bahwa pernikahan itu bukanlah suatu akhir, melainkan sebuah awal.

Biasanya, sebelum kita menikah, para senior, sesepuh ataupun orang tua kita yang telah lebih dulu mengenyam asam garam dunia rumah tangga dengan sukarela dan tanpa diminta akan memberikan wejangan pada kita. Yang pada intinya adalah menikah itu begini, nanti kalau ada masalah kamu harus begini, yang sabar dan bla bla bla. Dan saya yakin, kalian sering menganggap remeh wejangan-wejangan yang sebenarnya penting itu. Kenapa demikian?Sebab yang ada dipikiran kalian adalah kalian sudah berhasil menikah dengan orang yang kalian pilih sendiri, kalian pahami sendiri, dan direstui oleh orang tua, ditambah lagi dengan niat ibadah. Jelas akan sangat mudah bagi kalian untuk menjalani bahtera rumah tangga dengan bahagia seperti di cerita-cerita dongeng.

Sumber: thepoppingpost.com

Akan tetapi, pada kenyataannya masa pernikahan adalah masa yang sangat berbeda dengan masa ketika kamu berpacaran. Saat kita sudah menikah, maka apa yang dulu kita sembunyikan dari pasangan satu persatu akan keluar dengan sendirinya. Dan kebanyakan yang semakin terlihat itu adalah sifat buruk. Sementara sebagian besar sifat baik kita sudah dikeluarkan sebagai ajang "promosi"saat pacaran dulu. Tidak terkecuali untuk kalian yang sudah berpacaran lebih dari 5 tahun. Saat pacaran dulu, sangat gampang untuk menjadi kompak dalam menghadapi persoalan, lain lagi kalau sudah menikah. Ada-ada saja pertentangan yang timbul karena hal-hal sepele.

Seperti biasa, hari-hari awal pernikahan adalah hari-hari yang manis. Hari-hari dimana nuansa romantis selalu menyertai di setiap kegiatannya. Mulai dari saat mata terbuka, sampai menjelang terpejam lagi. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, masalah lalu muncul. Yang paling sensitif dan sering kali terjadi tentu saja masalah keuangan. Pacarmu yang dulu dengan polosnya bilang "berapapun yang kamu kasih aku terima kok"...mendadak langsung berubah..."duh, berat juga yaa kalau dapatnya cuma segini"...dan lama-lama dengan lantangnya akan berkata.."kok cuma segini, mana cukup???". What the hell is that?

Kalau sudah begitu, si suami akan keluar sisi egoisnya. Sedangkan sang istri, selayaknya perempuan pada umumnya akan keluar sisi melankolisnya. Endingnya ??? Tidak jauh dari air mata. Saat itulah kalian batu akan tersadar, bahwa modal cinta saja tidak akan cukup untuk membuat perutmu kenyang. Dan saat itu pula, kalian baru akan ingat tentang segala wejangan yang pernah diberikan sebelum kalian menikah dulu.

Saat pacaran, ketika terjadi suatu permasalahan, solusi yang paling gampang adalah putus. Setelah menikah, tentu bukan suatu hal yang mudah untuk menyatakan talak apalagi bercerai. Karena itu setiap permasalahan harus ada penyelesaiannya. Si suami harus mengurangi rasa egonya. Si istri pun harus membuang rasa melankolisnya, dan mulai menggunakan logika berfikirnya. Memang, sudah menjadi takdir kalau laki-laki itu cenderung menggunakan logika daripada perasaannya. Begitu pula perempuan, yang lebih mengedepankan perasaan. Tapi kalau masih terus ngotot mempertahankan idealismenya seperti itu, sampai lebaran kuda sekalipun masalah rumah tangga kalian tidak akan selesai.

Menikah itu diperuntukkan bagi mereka yang sudah dewasa. Terutama dewasa secara pemikiran. Sebab, kalau kamu masih mementingkan diri sendiri, itu tandanya kalau kamu belum dewasa. Jadi, ketika hendak memutuskan untuk menikah, ada baiknya kamu tanyakan dulu pada diri sendiri, apa sudah benar-benar siap untuk menerima segala kelebihan dan juga kekurangan (yang akan segera terlihat) pada pasanganmu. Jangan lagi berpikir untuk mengatakan "buatku", tapi mulai memahami kalau nanti yang kamu katakan adalah "buat kita". Karena menikah itu, bukan hanya tentang "kamu atau aku", tapi tentang kita. Yang akan bersama-sama menyelesaikan apa yang sudah dimulai ketika ijab qabul dulu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline