Lihat ke Halaman Asli

Gelief dan Taman Keukenhof (Part 1)

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13356530741931769715

“Mereka membawa kita ketanah telantar, Dimana kabut sungai jatuh lebih deras daripada hujan,

Dan api dibukit menjulang lebih tinggi daripada bintang-bintang, Ketika kau dan aku berderap berimajinasi menuju taman keukenhof. Kita berpaling dan memandang pelangi warna bunga tulip. Semenjak kita berpisah, kita sama-sama menua.

pikiran direcoki banyak kecemasaan, Dan telingaku penuh dengan nada-nada sumbang” Priya Purnama

Kata diatas aku kirimkan kepada gadis yang aku anggap sebagai adik se-embrio tapi tak sedarah, mungkin terlalu tinggi hanyalan untuk aku cerna maupun engkau. Dia pergi membawa luka meninggalkan luka dihati ketanah penjajah.

Ik hou vanafscheid Ucapannya menyudutkanku. Sambil kuraih tangannya mata ini seolah curhat mengembun air mata sampai mengalir ke lembah pipi.

“ Jangan pernah pergi Dik, bagaimana aku.....” kata-kata itu putus , matanya membalas embunan yang aku isyaratkan itu.

“ Maaf mas, keputusanku udah bulat. Tidak bisa ditunda-tunda lagi” Tiba-tiba tubuhnya merapatkan ketubuhku. Bajuku sebelah pundak sebagai bukti curhatan air matanya.

Bisikan dan pelukannya mencairkan hatiku. Dia mendekatkan bibir tipisnya ke pendengaranku sambil berucap

Ik zalje nooit vergeten,het hartis er altijdvoor jegeliefde kata-kata manis itu membuat aku mengelus mahkota rambutnya. Yang aku tahu di sangat lihai dalam menggunakan bahasa Belanda, sedangkan aku hanya mengerti apa yang dia omongkan dan seperti kebanyakan kendala untuk listening menggunakan bahasa Belanda sangat sulit untuk mengucapkan.

Vier” Kuucapkan untuk menenangkan perasaan yang sudah teguh untuk mengarungi dan belajar ke negeri kincir angin.

Cuma kenangan yang kau tinggalkan, bandara Adi Sucipto sebagai saksi perpisahan kita. Setelah meninggalkan bandara, dalam perjalanan menuju ke rumahnya di jalan Ahmad Dahlan Yogyakarta. Bersama saudara sepupunya Mey, dan si Mbok Laras ”Mamanya” kami menuju rumahnya. Tak lupa juga aku meng-update status Facebookku :

BANYAK SUATU PENGORBANAN DIBUATSAMUDERA UNTUK MENENANGKAN! DAN BANYAK SUATU TANGISAN TERCEKIK DALAM BUIH DAN BER(KALI-KALI)

SEBUAHTANGAN MERENTANG AKHIRNYA, DILEMPARKAN KE ATAS DALAM PENCARIANNYA,

MERABA,MENANGKAP,MENCELUP DALAM KEPUTUSAN, MENCARI UNTUK MENEMUKAN DUKUNGAN DISUATU TEMPAT, DENGAN OMBAK KEJAM YG MENEKAN KERAS! HANYA AIR TANGISAN, TANPA KEBAHAGIAAN.

AKHIRNYA TERLIHAT KESEDIHAN! SIA- SIA MEMPERJUANGKANNYA.

Dirumahnya, aku mencoba masuk kekamarnya mencari novel kesukaannya. Novel itu aku cari di tumpukkan lemari belajar yang berjejer novel berbaris tak tahan tangan ini meraih setelah mata ini memfokuskan ke arah novel kesukaannya.

“ mencari opo toh cah bagus, kok penting banget sampai membongkar buku-buku adekmu”  Tiba-tiba suara perempuan pengasih mengkagetkan pendengaranku.

“ Astagfirullah, si mbok...kaget kulo mbok, niki golek i novel kesenangane dik Novi” senyuman kasih sayang itu menghangatkan pandanganku.

Si mbok Laras sudah aku anggap sebagai Ibu kandungku sendiri, sedangkan anaknya Novi adalah gadis yang pernah singgah dihatiku. Kalo aku pergi ke Jogja selalu menginap dirumahnya Novi. Mungkin biar gratis kali,hehehee, belum lagi kalo pulang ke Jember selalu dibelikan tiket pulang menggunakan Jasa KA klas bisnis ( boro-boro naik bisnis datang ke Jogja, hahahaha. Datang ekonomi- pulang bisnis). Kadang malu juga dengan kebaikan si mbok tapi si mbok pernah bilang kalo aku sudah diangkat menjadi bagian keluarganya. Suami si mbok Laras sudah meninggal waktu Novi menjejangkan SLTP kelas 3. Si mbok yang Cuma membiayai Novi seorang. Mbok Laras menyambung hidupnya dengan berdagang Rumah makan Gudeg di sekitaran jalan Malioboro. Kadang kalo di Jogja aku membantu sebisaku untuk keperluan rumah makan Gudeg menyapu, bersih ataupun jadi kasir.

Lamunan itu dikagetkan lagi sama mbok Laras,

“ Cah bagus, dahar disek yo “

“ Injjeh , mbok mantun niki”

Mata ini seakan seirama membuka berlembar novel kesukaannya. Tiba-tiba ada kertas yang jatuh di lantai, kertas apa itu pikirku. Setelah aku ambil ku taruh novel itu di kasur empuk itu. Mata ini kaget ternyata kertas itu bertulisan :

“ Mesti kita sama-sama <=> dinaungi oleh langit yang sama,diterangi cahaya matahari yang sama,digelapi oleh malam yang sama. Namun kita tak pernah sama dlm menyerap semua itu. Kita melangkah dijalan setapak dengan bobot yang berbeda.” Up date status Mas Priya. Akan aku balas:

“Kyknx maZ maU CuTi yA....fb. BeNaR....KerjAkaN,,,Y6 UtaMa.... Ik J0uw 6ewIllig Dr0mEn peR Staat H0llaNds,,,, My C0lleCtieF wEl de6elijK”

Kagetku bukan main sampai segininya dik Novi menulis ulang kata atau kalimat yang aku up date status di Facebook. Senyumku mengembang aku tahu ada apa dibalik udang itu, mata ini menitihkan sumber yang membasai kertas yang ditulisnya.

( Bersambung , sabar ya pemirsa jangan kecewa !)

Mading Cinta Fiksiana

http://www.facebook.com/groups/374792569230705/)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline