Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Cerita dari Alastua

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk Kelompok Proper 5B Kelurahan Bangetayu Wetan. Untuk Hastin, Ulek, Nidia, Vivi, Indri, Bony, Adam, Dwi Aji, dan Asa Prolog: Beberapa orang hanya berbicara ketika ia menganggap bahwa sesuatu yang ia bicarakan adalah hal yang penting, selain dari kondisi itu ia memilih diam. Saya bukanlah orang Semarang, tetapi kuliah di Planologi Undip menuntut saya untuk mengenal Semarang jauh lebih dalam. Adalah Kelurahan Bangetayu Wetan yang selama hampir enam bulan ini memenuhi pikiran saya. Kelurahan tersebut merupakan wilayah studi dari salah satu mata kuliah yang saya dapatkan di semester 3 ini. Saya tidak bisa menyalahkan ketika ada orang yang menganggap bahwa pikiran saya dipenuhi oleh keribetan yang luar biasa dari tugas-tugas yang harus saya rampungkan. Silahkan saja beranggapan demikian, tetapi bukan itu poin yang ingin saya bahas. Tidak banyak orang yang mengenal Bangetayu Wetan. Sayapun tidak mengenalnya sebelum mendapatkan tugas dengan proses yang begitu panjang ini. Terlepas dari itu semua, hal paling menarik yang saya alami adalah ketika seorang dosen berkali-kali menanyakan tentang dimana wilayah studi yang saya dan kelompok saya dapatkan. Sebuah pertanyaan sepele mungkin dan menjadi jauh lebih sepele karena pertanyaan tersebut sepertinya dengan begitu saja disepelekan. Terbukti dari seringnya pertanyaan itu dilontarkan kepada kami. Yayaya, baik pertanyaan maupun jawaban sebenarnya sama-sama membosankan. Terlalu baku. Hal ini menjadi menarik ketika dosen tersebut berpikir selama beberaa detik setelah mendengar jawaban kami dan lalu berkata “Yang ada Alastuanya itu ya?”. Mendengar respon tersebut, serentak kami semua menngangguk mengiyakan. Tetapi setelah itu, yang saya lakukan adalah diam dan merenung. Hal yang pasti adalah kita tidak bisa menyenangkan semua orang dan juga tidak bisa  memberikan perhatian yang sama besarnya kepada angan dari 7.248  kepala di Kelurahan Bangetayu Wetan. Tetapi mulai hari Senin kemarin saya mencoba untuk berpikir agak berbeda dari sebelumnya. Ya, Senin kemarin kami ber-10 datang kembali ke Kelurahan Bangetayu Wetan, mengunjungi Stasiun Alastua untuk berfoto bersama. Dan kami cukup terkejut dibuatnya. Praktis, tak ada lagi jalan berlubang yang akan digenangi air saat hujan. Tak ada lagi jalan berupa tanah yang membuat kami harus ekstra mengendalikan motor saat melintasi jalan menuju Stasiun Alastua. Ya, jalan di RW 1 dan jalan di depan Stasiun Alastua telah seluruhnya diperbaiki, dibeton, dan menjadi jauh lebih nyaman untuk dilewati. Alastua yang sedari tadi saya bicarakan adalah stasiun barang yang fungsinya akan kembali divitalkan berdasar pada Perencanan Jangka Menengah Kota Semarang tahun 2011-2031. Alastua juga difungsikan sebagai lapangan kontainer, dipo lokomotif sebagai garasi dan bengkel kereta api. Stasiun ini direncanakan akan melayani distribusi barang Jawa Tengah dengan menghubungkan jalur Semarang dan Surakarta. Pengembangannyapun tidak lepas dari rencana akan diaktifkannya kembali jalur kereta api ke Pelabuhan Tanjung Emas.. Selain itu stasiun Alastua juga mulai mengoperasikan jalur ganda menuju ke stasiun Gubug sehingga mendorong pelayanan yang lebih cepat karena hambatan seperti waktu tunggu yang lama saat persilangan akan berkurang. Ya, semua rencana pembangunan Stasiun Alastua ini tentu ada dasarnya. Ah iya hampir saja saya lupa menginfokan bahwa Kelurahan Bangetayu Wetan terletak di Kecamatan Genuk yang merupakam kawasan industri Kota Semarang. Tidak semua pihak setuju dengan apa yang direncanakan di Alastua. Meski Stasiun Alastua memiliki lahan selusas lima hektar yang bisa dimanfaatkan untuk menampung 1.122 kontainer (20 kaki) dan 180 kontainer (40 kaki) dengan kapasitas tiga susun. Meski Stasiun Alastua berada di dekat kawasan industri yang menjadikannya pilihan tepat untuk sebuah stasiun barang. Pertanyaanya sekarang adalah “bagaiamana dengan warga di sekitar Stasiun Alastua?”. Kelurahan Bangetayu Wetan memiliki fungsi lahan yang didominasi untuk kawasan permukiman. Hal ini mungkin jugalah yang mendorong daerah di dekat Stasiun Alastua dipadati oleh permukiman warga. Kebisingan dan polusi udara adalah sebagian dari banyak hal yang akan dialami warga Bangetayu Wetan ketika frekuensi lalu lintas di Stasiun Alastua mengalami peningkatan. Terlihat rumit memang jika membicarakan eksistensi Stasiun Alastua ke depannya. Apa yang bagus apa yang tidak? Perencanaan macam apa yang harus dan tidak harus dilakukan? Ah, mungkin mahasiswa yang baru melewati semester 3 belum cukup mampu untuk membicarakannya. Terlepas dari itu semua, saya lebih senang membicarakan perjalanan saya dan teman-teman yang tadi sudah sedikit saya singgung di awal. Saya menangkap, ada pemandangan yang agak lucu di perbatasan antara Kelurahan Bangetayu Wetan dan Kelurahan Bangetayu Kulon. Nampak jalan di wetan terlihat begitu mentereng karena telah diperbaiki dan jalan di kulon justru tidak mengalami perubahan dari kondisi sebelumnya. Kemudian saya berujar dalam hati, “Aaah ini benar-benar administratif!”. Entah apakah hal itu ada hubunganya dengan Stasiun Alastua atau tidak, yang pasti perbedaan dan perubahan itu jelas terlihat. Senang rasanya kembali ke Bangetayu Wetan dan melihat ada perubahan yang terjadi. Lebih senang lagi rasanya bisa berkesempatan berfoto di Stasiun Alastua, walau kami sempat ditegur oleh Bu Murti, Kepala Stasiun Alastua. Bukan, bukan amarah yang keluar dari dalam diri beliau, hanya kekhawatiran. Khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap 10 anak yang dengan serunya berfoto di rel-rel Alastua. Ya, kondisi Stasiun Alastua memang begitu terbuka, tidak seperti stasiun-stasiun lain yang benar-benar steril. Adalah sebuah kelaziman melihat orang berlalu-lalang di rel-rel kereta, bermain-main sambil menghabiskan sore, atau sekadar berfoto untuk disimpan sebagai kenang-kenagan. Ya, kenangan. Epilog: Entah mengapa saya merasa keberadaan Stasiun Alastua memegang peranan penting terhadap Kelurahan Bangetayu Wetan. Setidaknya, agar dosen saya ingat apa itu Bangetayu Wetan. Setidaknya.

(Tulisan ini dibuat berdasakan pengalaman nyata dalam pengerjaan Tugas Mata Kuliah Proses Perencanaan. Selama prosesnya kami mengumpulkan data-data terkait Kelurahan Bangetayu Wetan yang kemudian di-compile kedalam basis data, membuat peta-peta baik mikro maupun makro, mendokumentasikan sudut-sudut Kelurahan Bangetayu Wetan, dan menyusun laporan akhir. Walau hasilnya mungkin tidak terlalu menggembirakan, kami mempersilahkan siapa saja yang ingin meminta data-data tersebut untuk kegiatan pendidikan, penelitian perbaikan, pembangunan, atau kegiatan apapun yang bersifat non profit. Silahkan hubungi e-mail resmi kelompok kami: bangetayuwetan@gmail.com. Bukankah ilmu itu memang harus dibagi-bagi? ^^)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline