Lihat ke Halaman Asli

Jon A Masli

Penggiat Investasi dan UMKM

Faktor Mahal, Tantangan Masalah Pengembangan Bisnis UKM Ekspor

Diperbarui: 16 Desember 2019   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jakarta, 12 Desember 2019

Kompasiana.com

Oleh: Jon to A. Masli, MBA (Ketua Komite NAFTA KADIN)

Tantangan dan masalah pengembangan bisnis UKM selalu menempati head line/ topik hangat ketimbang pengembangan topik bisnis konglomerat. Topik bisnis UKM selalu menjadi perhatian para Pelaku ekonomi, dari sejak istilah UKM dicetuskan dari era pemerintahan Soeharto. Kini tantangannya kian kompleks, terutama mereka yang ingin ekspor ditengah badai globalisasi ekonomi yg tidak menentu. 

Banyak sekali komponen-komponen faktor yang mempengaruhi segmen ekonomi ini. Namun tidak banyak komponen baru terkecuali faktor ekonomi digital dan teknologi E-commerce yang perannya makin dominan. Dari dulu tantangan besar klasiknya selalu pada seputar komponen modal/keuangan, manajemen, SDM, biaya produksi yang tinggi dan pemasaran.

Pemerintah dari rezim ke rezim selalu memprioritaskan UKM sebagai salah satu fokus pembangunan ekonomi. Berbagai strategi kebijakan dan upaya maksimalpun sudah diupayakan khususnya oleh Kementerian Koperasi, Perdagangan dan Kementerian-kementerian terkait. Pada kenyataannya para pelaku UKM masih berjuang untuk bersaing maksimal di pasar domestik dan internasional. Salah satu kendala terbesar, adalah harga jual produk dan jasa mereka yang terkesan masih relatif mahal dan terkadang  belum sesuai dengan kualitas nilai yang diharapkan para konsumen.

Pricing yang masih mahal dan  Product Quality yang cenderung belum konsisten menjadi akar permasalahan besar para pelaku UKM. Dua faktor yang mendasar ini saja sudah menghadang perkembangan bisnis UKM belum lagi ditambah dengan masalah-masalah klasik lainnya, seperti permodalan/keuangan, pemasaran, produksi, logistik dll. 

Alhasil mereka sulit bersaing dengan saudara-saudara pengusaha menengah nasional pabrikan yang mempunyai kelengkapan produksi yang lebih modern dan permodalan yang lebih kuat. Belum lagi kalau menghadapi para Pelaku UKM Cina dan India yang harganya sulit dilawan.

Lalu apa kiat untuk membantu mencari solusi tantangan keterbatasan-keterbatasan ini ? Salah satu dari berbagai strategi solusi yang dapat diusulkan adalah konsep klasik dari era Pak Harto, yaitu para pelaku UKM yang berpotensi dirangkul oleh bapak angkat. Yaitu mereka dibantu/dirangkul oleh BUMN, Konglomerat atau lembaga penunjang2 ekspor dengan bantuan dana dan tehnis. Konsep ini bukanlah hal baru, karena sudah dikenalkan sejak zaman Soeharto yang dilaksanakan melalui program CSR membantu UKM-UKM berpotensi.

Setiap tahun milyaran Rupiah sudah disalurkan melalui berbagai program CSR oleh perusahaan-perusahaan bapak angkat tadi selama dua dekade ini. Sayang di dalam praktek penyalurannya, masih belum maksimal bahkan disinyalir "banyak sabotase" dari para oknum tertentu dari pihak perusahaan pendonor atau bapak angkatnya, sehingga bantuan kepada para pelaku UKM tidak maksimal dan kerap "disunat". Sunatan ini sudah menjadi rahasia umum dikalangan Pelaku UKM.

Para Pengelola Dana CSR  kerap kali memberdayakan konsultan-konsultan bisnis sebagai Mitra Penghubung  menggolkan proyek-proyek bantuan CSR dengan potongan fee besar.  Alhasil walau perusahaan UKM terbantu, komponen-komponen pembiayaan  seperti  investasi, modal kerja, kelola manajemen yang belum efisien dan mahal tetap mempengaruhi biaya produksi yang cenderung tinggi. Inilah akar permasalahan yang menjadi pemicu biaya tinggi yang membuat harga produk dan jasa UKM kurang bersaing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline