Lihat ke Halaman Asli

Bukan Bodoh Namanya

Diperbarui: 11 April 2019   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Peran guru sangatlah penting terutama pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Guru
seharusnya menjadi fasilitator yang membantu anak-anak berkembang dan bertumbuh. Namun
bagaimana jadinya jika guru justru yang menghambat perkembangan anak?


Salah seorang murid di salah satu sekolah dasar negeri di Jawa merasakan hal yang
kurang menyenangkan, sebut saja Bima. Bima berasal dari daerah lain di luar Jawa dan memiliki
gaya bahasa yang berbeda. Hal ini membuatnya kesulitan berkomunikasi dengan sesama teman
dan gurunya. Guru kelasnya yang tidak paham berasumsi bahwa Bima tidak lancar berbicara dan
mengatakannya "bodoh".


Hal seperti ini merupakan labeling. Menurut teori labeling Lemert, orang yang
mengalami labeling dapat benar-benar menjadi menyimpang sesuai dengan julukan dan cap yang
diberikan kepadanya. Sangat disayangkan, labeling cukup sering dilakukan oleh guru kepada
murid. Guru mencap muridnya malas, bodoh, nakal, dan lain sebagainya. Labeling yang
dilakukan guru ini sangat mempengaruhi psikologi anak. Murid yang selalu mendengar guru
mencap dirinya "bodoh" dapat menganggap bahwa dirinya memang bodoh. Dampak panjangnya
dapat menyebabkan anak rendah diri dan menganggap dirinya tidak berharga, bahkan dapat
mengakibatkan depresi.


Dalam kasus Bima, jika tidak segera ditangani dengan benar dapat menjadikannya kurang
percaya diri dan menjadi anak yang pendiam. Kesulitan bahasa yang ia alami juga dapat
menyebabkan ia kesulitan menerima dan memahami penjelasan guru ketika mengajar sehingga
mempengaruhi pemahamannya pada materi pelajaran. Perbedaan bahasa yang Bima gunakan
dengan teman-temannya di sekolah membuatnya kesulitan berkomunikasi dan bergaul dengan
mereka.


Menjadi tugas guru untuk membantu muridnya. Penting bagi seorang guru untuk
memahami muridnya, mengetahui latar belakang dan kehidupan murid akan dapat sangat
berguna. Pasti berat bagi Bima karena ia pendatang dari asal yang jauh dan mengalami masa-
masa yang sulit dalam keluarganya dan juga mengalami kesulitan berkomunikasi. Sebagai
seorang guru tidak dapat menggeneralisasikan semua siswanya karena setiap anak memiliki
perkembangan dan kebutuhannya masing-masing, unik dan spesial. Dalam kasus ini, Bima perlu
perhatian khusus dalam hal bahasa. Jika keadaan seperti ini terus dibiarkan ketika anak berusia
dini dan dalam masa pertumbuhan akan membawa dampak buruk bagi kemampuan kognitif dan
pergaulan anak nantinya.


Seorang guru yang mengajar bidang studi lain memahami situasi sulit yang dialami Bima
dan membantunya untuk berbahasa Indonesia. Guru ini menghargai Bima sebagai anak
Indonesia dengan suku, bahasa, dan budayanya. Guru ini bukan berusaha menghilangkan bahasa
ibu milik Bima tetapi memberi pemahaman baru tentang bahasa nasional. Anak pada usia enam
sampai sepuluh tahun merupakan tahap dimana mereka mengembangkan kemampuan berbahasa
mereka dan mulai membuat kalimat-kalimat yang kompleks. Saat yang tepat untuk melatih
 mereka menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Guru ini tidak menghakimi Bima
dan membimbing Bima dengan tulus.


Pada usia Bima yaitu antara tujuh sampai sembilan tahun merupakan masa rawan anak
merasa rendah diri (Erikson) dan dapat diperparah oleh sikap guru yang salah. Cara lain yang
dapat guru lakukan untuk menolong Bima adalah meminta bantuan dan kerjasama kepada teman-
teman sekelasnya. Dengan cara ini, Bima dan teman-temannya dapat belajar untuk saling
menghargai, memahami dan menghormati. Bima yang dari daerah yang berbeda tidak akan
merasa dikucilkan dan tersisihkan.


Itulah tugas guru, selain mengajarkan pengetahuan juga penting untuk menanamkan nilai
moral dan kebenaran kepada murid. Terutama pada masa globalisasi saat ini, semua orang di
berbagai belahan dunia dapat saling terhubung. Anak usia SD kini sebagian besar telah
memiliki gadget dan akun media sosial. Jika anak tidak dididik sejak dini, mereka dapat tersesat
dan mengikuti arus yang salah. Kasus labeling seperti yang dialami Bima dapat terjadi kepada
orang lain dan dilakukan melalui dunia maya. Rawan bagi anak yang belum matang secara
emosional untuk menggunakan media sosial.


Ketika anak telah mendapat bekal yang cukup dari gurunya, mereka tidak akan terlibat
dengan hal-hal yang buruk. Sehingga merupakan hal yang fatal ketika guru
melakukan labeling kepada anak, karena murid bisa saja meniru perbuatan guru tersebut. Guru
yang benar adalah guru yang dapat menjadi teladan bagi muridnya. Bukan guru yang
menjerumuskan tetapi guru yang menuntun murid dalam kebenaran. Guru yang membantu murid
bertumbuh dan membuat murid menyadari betapa berharganya diri mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline