Lihat ke Halaman Asli

Pohon, Pagi dan Terik

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Matahari belum menampakkan sinarnya, tetapi ayam jantan sudah mulai berkokok menandakan pagi akan segera datang. Ada percakapan sebuah pohon dan seorang gadis yang sedang kedinginan.

Gadis (G), Pohon (P).

G            : Hei Pohon, bukankah ini sangat dingin. Tidakkah kau merasa kedinginan setiap pagi datang?

P            : Tentunya begitu hei gadis, dingiinnya membuat serat – seratku terasa makin rapat. batang dan daun seperti hendak menyatu berpelukan saling menghangatkan. Akar – akarku yang jauh menjalar seperti hendak kembali dan menjadi satu dengan batangku. Dingin seperti ini setiap pagi harus kami rasakan.

G            : Lalu ketika siang datang. Apakah terik matahari tidak membakarmu? Orang sedang ramai membicarakan bumi yang semakin memanas, tidakkah kau merasakan hei pohon?

P            : Tentunya kami sangat merasakan, kau berada di bawah lindungan bajumu, rumah – rumahmu. Sedang kami berada di bawah matahari langsung. Daun – daun seperti hendak mengering, daun – daun muda seperti hendak turut serta menjadi layu. Akar – akar harus menjulur lebih jauh menyerap air yang semakin sulit. Batang pohon ini seperti hendak roboh saja.

G            : Lalu pernahkah kau marah pada Tuhan karena menjadikanmu pohon?

P            : Tidak

G            : Pernahkah kau marah pada pagi yang selalu mengusikmu dengan dinginnya? Atau siang karena matahari yang telah menyengatmu seperti tanpa ampun?

P            : Tidak sama sekali

G            : Kenapa? Bukankah Tuhan tidak memberikan keadilan padamu? Dan Pagi serta siang tidak ramah padamu, mereka seperti tidak punya kebaikan untukmu.

P            : Pantaskah aku marah pada yang telah menciptakan aku? Tuhan menciptakan kita semua dengan segala kebaikanNya, ketidakadilan adalah perasaan dari kita sendiri yang tidak mampu melihat kekurangan dari sisi yang lain. Mungkin aku tidak sepertimu, tidak bisa berjalan bebas, berlindung ketika terik ataupun hujan. Tapi kau pun tidak akan bisa sepertiku, aku selalu kau butuhkan, kita saling membutuhkan Tuhan telah merancangnya seperti itu maka keadilan bukan soal yang harus kita perdebatkan dengan Tuhan.

G                : kemudian tentang perlakuan pagi dan siang ?

P            : Tidak semuanya berjalan sesuai dengan harapan kita, coba dengar... karena pagi yang dingin lihat ini, embun di daun – daunku meberikan kau keindahan bukan?  Pagi yang dingin meskipun sangat menyiksa ia juga mampu memberikan hal –hal baik. Ketika siang datang dengan teriknya, seperti hendak membakar memang tetapi dari situ kami bisa membuat makanan untuk tubuh kami sendri, dari terik matahari itu juga akhirnya ada oksigen – oksigen yang kami keluarkan, dan bukankah itu sangat kau dan manusia lainnya butuhkan?. Perlakuan yang seolah – olah buruk belum tentu buruk maksudnya, kita tidak boleh melihat segala sesuatu hanya dari satu kaca mata saja.

G            : Kau memang indah dengan butiran – butiran embun pagi hei pohon – pohon...

Kemudian gadis itu tersenyum, Surya mulai terjaga dari tidurnya.

Kebaikan tidak semerta – merta muncul tanpa kita mau mengerti, ia bukan datang dari senyuman manis, bukan datang dari kata – kata lembut, bukan datang pula dari amarah, dari hujatan ataupun umpatan. Kebaikan dari sesuatu itu ada ketika ada yang mau mencari dan merasakan.

Dingin pagi bukan berarti belenggu dan terik matahari di siang hari tak selalu membakar..

-iriadini-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline