Lihat ke Halaman Asli

(FiksiHorror Pemanasan) Rembulan Merah Kirmizi

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malam ini, piano merah di ruang keluarga itu kembali mengalunkan simfoni duka yang sudah amat familier: Moonlight Sonata, First Movement. Nada-nada adagio dari tuts-tuts piano itu tak hanya memanggil bulan untuk hadir dalam cahaya pucatnya, ia juga memanggilku untuk bangun dan menghampiri asal suara itu. Seperti magnet, suara musik itu menarikku dalam undangan tak tertolak. Aku berjalan perlahan menuju ruang keluarga. Ternyata memang ibuku, duduk anggun di atas bangku piano, tangannya menari di atas hitam-putih tuts. Dia seolah tidak menyadari aku datang, matanya menatap kosong ke arah purnama yang pasi tak berseri. Aku putuskan untuk memanggilnya, “Ma….” Dengan sebuah sentakan, ia berhenti bermain, namun tak jua ia menoleh ke arahku. Ia hanya berkata dengan suara yang tak lebih dari sekadar bisik, “Jangan ganggu aku….” Aku bergeming, menanti kata-kata berikutnya. Namun hanya kesunyian yang tinggal di antara kami, sunyi yang mencekam dan sehitam langit malam, kontras dengan merah piano Mama. Mama juga membisu membeku, tapi sejurus kemudian tubuhnya gemetar dan ia akhirnya sesenggukan sembari membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. “Pergi… pergi… biarkan aku sendiri…” ia menggumam tak jelas di antara isakannya. Bingung bercampur kecewa, aku berbalik dan kembali menyusuri koridor rumah yang panjang dan gulita, hanya diterangi oleh satu lampu fluorescent yang pinggirnya sudah mulai menghitam dimakan usia. Hanya cahaya lampu nan suram itulah yang mampu berempati padaku. “Lampu…” aku berbisik sendu. “Kenapa Mama selalu menginginkan aku pergi darinya?” Lampu itu mengedip sekali sebagai jawaban.

* * *

Lagi-lagi Moonlight Sonata, First Movement. Aku terbangun lagi. Ah, semua ini sungguh seperti déjà vu. Rasanya baru kemarin aku terbangun oleh lagu ini. Dan lagi, kenapa selalu First Movement? Bukankah sonata ini masih punya Second dan Third Movement? Selagi aku memikirkan hal ini, aku kembali ditarik oleh magnet lagu itu menuju ruang keluarga, di mana terletak piano merah dan ibuku yang duduk di atas bangkunya, mata menatap hampa pada bulan pucat di langit kelam. “Ma….” Kali ini aku menarik bajunya. Mama, lihatlah aku. Aku anakmu…. Ia spontan menghentikan permainan. Jeritan histeris Mama adalah segalanya yang tersisa dari malam itu. Jeritan itu menghantui relung-relung terdalamku, bergema di tiap sudut-sudut berdebuku. Jeritan yang penuh luka, penuh ketakutan, penuh penyesalan…. Malam ini, kembali aku tidur sendiri di kamarku. Aku menangis diam-diam.

* * *

Moonlight Sonata, First Movement… tarikan magnet… piano merah… bulan pucat susu… Mama…. Aku kembali berdiri di samping piano. Kali ini aku tak berbuat apapun, tidak pula memanggil namanya. Aku lelah, lelah sekali… letih aku mengejar perhatian dari seorang ibu yang sepertinya tidak menginginkanku. Aku hanya memandang jemari lincahnya di atas tuts piano dalam senyap yang mentransendensi waktu, pada saat yang bersamaan mengagumi bakat ibuku. Mungkin bagi Mama bakatnya jauh lebih penting dari aku…. Ah, jikalau demikian, biarlah kurelakan Mama bersama pianonya… biarkan ia menyelesaikan seluruh lagu itu…. Akhirnya, First Movement berakhir. Alih-alih melanjutkan ke Second Movement, Mama berhenti dan berbisik pada udara kosong di depannya, “Sheila… semua sudah selesai… Mama sudah menyelesaikan First Movement… sekarang, Mama janji, Mama akan selalu ada buatmu….” Akhirnya! Akhirnya Mama akan selalu ada buatku! Aku memanggilnya dengan penuh harap, “Ma, aku di sini! Ma, Sheila sayang Mama!” Ia masih menatap kosong ke depan, seakan tak menyadari keberadaanku, tak mendengar kata-kataku. “Ma…?” Senyap.

* * *

Dua orang paruh baya, laki-laki dan perempuan, mengamati seorang wanita muda yang duduk tercenung di bangku piano dari kejauhan. “Pa… bagaimana ini? Rena kelihatannya terobsesi setengah mati pada lagu itu, namun selalu saja dia menangis atau histeris tiap kali memainkannya. Pikiran Rena sepertinya sedikit terganggu setelah… setelah…” ia tak sanggup melanjutkan. “Dokter sudah bilang, itu adalah perasaan bersalahnya sendiri yang menghantuinya. Perasaan bersalah karena lebih mementingkan piano dari anak sendiri, sampai-sampai….” “Cukup, jangan teruskan,” kata si perempuan paruh baya dengan napas tercekat. “Aku… aku tidak tahan… tak sanggup mengingat itu….” Mengingat? Mengingat apa? Opa, Oma, apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah kelebat memori melintas cepat di otakku. Merah… merah kirmizi…. Kupandang sepasang tangan mungilku. Keduanya basah dan merah kirmizi, semerah piano di ruang keluarga! Aku… aku…. Ya, aku ingat hari itu. Ibuku, Sang Pianis, sibuk berlatih untuk perlombaan piano yang sebentar lagi akan ia ikuti. Moonlight Sonata, First Movement adalah lagu pilihannya. Tiap malam ia berlatih memainkan lagu itu, meninggalkanku tidur sendiri di kamar, muram dan kesepian. Hari itu, aku sudah menunggu beberapa jam sepulang sekolah, namun Mama tak juga datang menjemput. Kuputuskanlah untuk pulang sendiri, berjalan kaki. Kuseberangi hitam-putih zebra-cross yang tak ubahnya tuts piano dengan riang… sampai kelebatan itu datang menyambar menerjang. Merah. Seluruhnya merah kirmizi…. Yang kuingat berikutnya, aku bangkit dari aspal panas dan buru-buru berlari pulang ke rumah, mencari Mama yang ternyata masih duduk di bangku piano memainkan Moonlight Sonata. “Opa, Oma…” aku memanggil mereka, berharap tahu lebih banyak. Sunyi lagi. Seisi alam seolah membisu terhadapku. “Opa, Oma!” aku berusaha memeluk mereka, namun tanganku yang merah basah tak dapat menggapai tubuh daging dan tulang mereka. Mereka berlalu pergi seakan tak ada apa-apa. “Mama! Opa dan Oma…” aku baru berbalik hendak mengadu pada Mama, namun sekali lagi mata Mama hanya terpaku pada bulan yang menggantung di langit malam. Titik air mata pada sudut matanya laksana bintang yang berpendar letih. Rembulan pucat itu perlahan memerah pula, seperti bola kapas yang dicelup dalam gincu cair… merah piano… merah darah…. Merah yang menarikku ibarat magnet, mengundangku seperti lagu Moonlight Sonata… undangan yang tak pernah dapat kutolak kulawan…. Malam ini, aku tak lagi tidur di rumah… aku berpulang ke bulan merah kirmizi!

Guangzhou, 27 April 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline