Lihat ke Halaman Asli

Belas Kasih Buat Sang Iblis

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sang Iblis terbaring lemah di atas tempat tidur berseprai putih itu. Sesekali ia akan mengerang keras penuh kesakitan dan menjerit-jerit minta obat penghilang rasa sakitnya. Dan sebagaimana dulu, aku melayaninya tanpa mengeluh. Semua demi anak-anakku dan anak-anaknya.

Ada sensasi tersendiri menyaksikannya menggeliat dalam kesakitannya. Mungkin inilah yang namanya nikmat sebuah pembalasan. Dulu, ia akan tertawa-tawa melihatku menangis usai menderita gamparannya. Atau sepakannya. Atau permainan seksnya yang menjijikkan. Aku sudah kenyang akan semua itu. Namun demi ketiga anakku dan anaknya, aku bertahan.

"Waktunya tidak lama lagi," begitulah menurut dokter. Kanker usus stadium akhir... tentu tak ada hari tanpa kesakitan baginya. Ia bahkan terlalu sakit untuk melanjutkan hobinya: menyakitiku. Tetapi aku menerima semua perlakuannya, asalkan ia tidak melakukan yang sama pada putra-putriku dan putra-putrinya. Asalkan ia tidak melakukan itu di depan anak-anak. Jangan sampai mereka melihatnya menganiayaku dan trauma karenanya.

Sang Iblis menerima tawaranku dan kami berdua menjadi aktris dan aktor hebat dalam sandiwara menahun ini. Di depan anak-anak dan semua orang lain, kami adalah suami-istri yang rukun harmonis. Malam hari, di kamar kami, di ranjang pengantin kami, aku adalah binatang yang siap dijagal oleh Iblis sadomasokis. Dan tak pernah ada yang melihat air mataku di malam-malam panjang itu. Bekas-bekas penganiayaan pun tersembunyi di balik pakaianku yang tertutup.

Sekarang tiga anak itu sudah dewasa dan sudah memiliki keluarga masing-masing. Tinggallah aku dan Sang Iblis.

"Lastriiiiiiii!" ia meneriakkan namaku, suaranya sudah bercampur erangan. Aku tahu. Obat penghilang sakit. Aku pergi mengambilkan obatnya beserta segelas air.

Tatkala menungguinya meminum obat itu, sebuah pikiran tergila sekaligus terlogis melintas di otakku.

Pikiran itu diawali dengan sabda seorang Guru: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi yang menganiaya kamu...

Iblis, tidakkah kamu merupakan musuhku? Dan kini engkau sedang menderita... sakitkah, Mas? Kasihan kamu, Mas...

Lalu mataku beralih pada bantal putih di samping badannya yang kurus kering.

Mas, biarkan aku menaruh belas kasihan padamu... biarkan aku mengakhiri deritamu... menghadiahimu kematian yang damai, tanpa rasa sakit, dan tak berdarah... SEKARANG...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline