Stereotip menggiring bahwasanya setiap generasi harus memiliki ciri khasnya sendiri berdasarkan tuntutan zaman. Diketahui bahwa generasi yang memegang kemajuan zaman ini ialah generasi Y atau milenial dan Z, identik dengan kecanggihan teknologi serta penggunaannya. Menurut Naafs (2012:100) Sebagai aktor sosial, pihak pemuda telah diromantisasi oleh dunia orang dewasa (masa depan kita di tangan mereka, dan sebagainya). Seperti tertuang dalam UU RI No. 40 Tahun 2009, individu pemuda tergolong dari rentan usia 16-30 tahun.
Pernyataan mengenai masa depan terdapat di tangan pemuda, didasari atas usia produktif yang seharusnya mampu mendorong tingkat fleksibelitas kinerja seseorang yang berdampak bagi dirinya sendiri dan juga lingkungan sosialnya. Sebab, secara sosial, dapat diartikan bahwa pemuda merupakan bagian dari struktur masyarakat yang memiliki tanggung jawab lebih dari aspek internal dan juga eksternal individu. Pemuda diberikan banyak harapan dan kepercayaan dari struktur masyarakat lainnya dalam segala hal yang berkaitan dengan perkembangan bangsa, sehingga secara tidak langsung kepercayaan tersebut menjadi tuntutan yang harus dijalankan oleh pemuda.
Kehidupan pemuda ditandai dengan masa transisi dari perkembangan kehidupan remaja, sehingga segala tuntutan, tekanan dan tugas individu bertambah banyak dan sulit karena perkembangan tersebut sudah masuk pada tahap selanjutnya, yaitu dewasa awal. Dewasa awal, Menurut Martin (2016) dalam Ananda (2021), banyak yang meyakini bahwa usia awal menginjak dewasa yaitu 20 tahun.
Seiring dengan perkembangan lebih lanjut, maka tugas-tugas yang dimiliki dewasa muda inilah berasal dari harapan, ekspetasi masyarakat sekitar, terlebih orang terdekat yang berkaitan dengan linimasa pendidikan, karir pekerjaan, hubungan percintaan, finansial ekonomi dan jiwa kepribadian yang harus diimiliki lainnya, seperti tanggung jawab, kreatif dan inovatif supaya eksistensi pemuda tersebut tetap ada.
Pengenalan tugas baru ini dijuluki dengan emerging adulthood yang berkaitan dengan periode perubahan dan peralihan atas pengetahuan dan keterampilan untuk pembekalan individu sebagai aktor menuju fase dewasa. Hal tersebut disebabkan, karena masa ketergantungan di tahap anak dan remaja sudah selesai, namun di sisi lain belum tumbuh kemampuan individu untuk memikul tanggung jawab sebagai orang yang sudah memasuki usia dewasa membuat individu berusaha untuk lebih berkembang dan mendalami diri dalam hal pendidikan, pekerjaan, relasi dengan orang lain, percintaan dan pandangannya terhadap dunia itu sendiri.
Dikenal dengan istilah QLC atau Quarter Life Crisis, merupakan istilah yang berkaitan dengan keadaan emosi seseorang yang merujuk pada usia produktif yaitu 20-30 tahun. Quarter life crisis bisa terjadi oleh karena tekanan keluarga, masalah dengan teman seumuran, merasa tidak aman akan masa depan, kecewa dengan suatu hal bahkan diri sendiri, frustrasi terhadap relasi dengan orang lain atau tentang pekerjaan. Faktor budaya atau norma sosial yang belaku juga bisa menyebabkan individu mengalami quarter life crisis, misalnya seperti orang terdekat seperti keluarga dan teman yang mempengaruhi persepsi individu dalam menghadapi masalah, serta bagaimana cara menyelesaikan masalahannya.
Semakin mendapatkan tuntutan, individu mulai merasakan emosi dan persepsi negatif terhadap dirinya sendiri. Sebagai dampak yang dinyatakan dari tekanan-tekanan sosial yang ada, biasanya pemuda rentan terhadap keraguan, cemas, stres, bingung dan gelisah terhadap pilihan hidupnya. Selaras dengan pernyataan fakta sosoal, Durkheim.
Menurutnya, fakta sosial berkaitan dengan semua cara bertindak, berpikir, dan merasa yang ada diluar individu, bersifat memaksa, dan umum. Fakta sosial ini memaksa individu agar selalu sesuai dengan keadaan sosial yang menuntutnya. Sehingga QLC ini merupakan implikasi atas tuntutan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, pemuda dalam kurun usia dewasa awal banyak yang khawatir akan masa mendatang serta kualitas hidup seperti pendidikan, percintaan, pekerjaan, relasi dengan orang lain bahkan keuangan sehingga mereka sering merasa kecewa atas pencapaian yang didapatkan, sering meragukan diri sendiri, serta terus merasa ditekan oleh lingkungan sekitar.
Indonesia sebagai negara yang dapat disebut negara patriarki, sebagai contoh yang sampai detik ini hadir menemani kehidupan sosial, pernikahan adalah suatu capaian yang utama yang harus diraih oleh individu di usia dewasa awal khususnya perempuan, hal tersebut sudah menjadi budaya di Indonesia.
Ketika perempuan di Indonesia sebelum usia 30 tahun belum menikah, maka mereka akan mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar, serta mendapatkan istilah 'perawan tua' atau 'tidak laku'. Sebagian besar perempuan stigma tersebut dijadikan sebagai acuan tindakan yang harus dilakukan meski memaksa kehendak individu tersebut. Banyak emosi yang melibatkan fakta sosial yang ada, krisis tersebut mampu mengakibatkan dampak negatif pada hidup mereka, salah satunya stress bahkan depresi.
Stress yang tertumpuk dapat memunculkan banyak masalah baru yakni terkait emosi serta tingkah laku individu. Sesungguhnya, kehidupan pemuda yang berkorelasi dengan tanggung jawab yang lebih besar dari sebelumnya dalam segala aspek, memiliki waktu yang berbeda-beda dan tidak dapat disama ratakan, kebaikan yang dinilai orang lain belum tentu pilihan terbaik pula bagi pribadi individu. Pada dasarnya segala keraguan dan kekhawatiran wajar didapati oleh seluruh usia tak terkecuali pemuda, alangkah baiknya jika penilaian generalisir suatu kelompok dikonstruksikan makna dengan lebih sesuai dengan keadaan sosial, tidak sebagai tuntutan yang harus dilakukan, dan jika tidak dilakukan akan mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat sekitar.