Suatu hari saya dan ibu saya pergi mengunjungi sebuah mall di Yogyakarta. Mall ini baru diresmikan sekitar satu tahun yang lalu. Rencananya, hari itu saya dan ibu saya akan mengunjungi suatu counter berlian yang cukup terkenal untuk melihat beberapa produk baru yang ditawarkan. Itu adalah kali pertama kami memasuki mall baru tersebut, sekalipun sudah banyak teman-teman saya yang berulangkali berkunjung kesitu. Mengagumkan, gumam saya dalam hati. Bangunannya terkesan klasik namun mewah. Kami berjalan dari tempat parkir sepeda motor ke lantai dasar.
Dengan perlahan kami mencar counter berlian yang akan kami tuju. Setelah melihat kekiri dan kekanan beberapa waktu, akhirnya kamipun menemukan counter tersebut. Seketika itu juga, mata saya terbelalak dengan adanya bazar buku, persis disamping counter tersebut. Saya mencoba menahan diri saya karena saya tidak membawa cukup uang untuk membeli buku, karena jujur saja saya salah satu orang yang maniak buku, yah sekalipun akan membutuhkan waktu yang sangaaaaat lama untuk menyelesaikan bacaannya. Ibu saya mengerti karena mata saya tak lepas dari buku-buku yang tergeletak di bazar itu dan berkata bahwa setelah dari counter nanti, saya diperbolehkan melihat-lihat sebentar, barangkali memang ada buku yang dibutuhkan untuk kuliah saya. Dan benar sudah. Setelah dari counter berlian itu, saya langsung menyerbu buku-buku yang tersedia di bazar tersebut.
Semuanya saya jelajahi, dari ujung ke ujung saya cermati betul, tidak peduli jenis buku macam apakah itu. Belum selesai saya mencermati buku-buku yang tersedia, hati saya begitu tertarik dengan buku yang berjudul The Power of Writing karya Ngainun Naim. Setelah membaca sekilas beberapa komentar yang terdapat pada cover belakang buku tersebut, saya memutuskan untuk menabung dan akan membelinya nanti. Ibu saya kemudian menghampiri saya. Lagi-lagi ia mengerti dan berkata "Sudah? yang mana wuk?" spontan saya memberikan buku itu kepada ibu saya dan kemudian berjalan ke kasir untuk membayarnya. Alangkah senang hati saya karena hari itu saya mendapat buku yang baru untuk dibaca. Sesampainya dirumah saya langsung membuka buku yang masih terbungkus rapi dengan plastik bening. Daftar isinya saja sudah membuat saya menggebu-gebu ingin membacanya.
Dari dulu sebenarnya saya ingin bisa menulis, namun selalu gagal karena banyak hal yang menjadi kendala. Buku ini sungguh menyindir saya. Ya.. kebiasaan saya yang menyebabkan saya baru mempunyai niat untuk bergabung di kompasiana hari ini. Bertahun-tahun yang lalu semua keinginan saya untuk menulis hanya berhenti pada keinginan saja, tidak pernah ada realisasinya, sehingga diusia saya yang memasuki usia remaja ini, saya baru akan memulai kegiatan menulis. Tapi saya yakin tidak ada kata terlambat untuk itu.
Beberapa hal dalam buku The Power of Writing yang terngiang-ngiang dalam kepala saya adalah Perjuangan, Komitmen dan Terus-menerus. Saya menyadari, jika saya ingin mengembangkan kebiasaan menulis, perjuangan ekstra perlu dilakukan karena kendalanya sungguh sangat banyak dan beberapa diantaranya sudah saya alami sendiri sebelumnya. Waktu yang selalu dirasa kurang, malas, tidak punya ide adalah hal umum yang seringkali dialami oleh orang-orang seperti saya, sehingga kegiatan menulis tidak pernah dimulai untuk dilakukan.
Ditambah lagi saat ini sudah ada berbagai sosial media yang membuat saya menjadi manja dan kecanduan untuk setiap hari saya kunjungi. Jujur saja, setiap bulan saya selalu menghabiskan uang untuk membeli kuota internet yang saya gunakan untuk membuka beragam sosial media yang saya punya. Path, Instagram, Twitter, Facebook, WA, BBM dan entahlah apakah masih ada lagi yang saya lupakan. Semuanya memang bermanfaat, namun manfaat yang saya rasakan hanyalah kepuasaan dan kesenangan sesaat. Saya menyadari bahwa saya memang sedang dijajah oleh aplikasi-aplikasi itu, namun kini saya akan mencoba mengendalikannya dengan menemukan manfaat dari sosial media yang sebenar-benarnya.
Perjuangan yang kita lakukan akan kandas seiring berjalannya waktu apabila kita tidak memilliki komitmen yang kuat. Saya menjadi teringat ketika saya duduk dibangku SMP. Kala itu saya mencoba membuat suatu cerita pendek di binder saya, namun tidak selesai karena rasa malas. Ketika saya berada di jurusan bahasa saat SMA, saya juga mencoba membuat tulisan fiksi yaitu novel dan tentunya tidak berhasil karena tidak selesai. Hal itu terjadi tidak hanya sekali dua kali, namun berulang kali dan kini saya merasa bosan menjalankan kebiasaan saya yang itu itu saja.
Ketika kita berinisiatif untuk memulai suatu, disitulah harus hadir komitmen yang melekat dalam hati dan pikiran kita agar tidak berhenti ditengah jalan. Komitmen yang kuat memberikan kita daya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Ketika perjuangan dan komitmen telah berjalan beriringan, saya yakin segala sesuatunya akan menjadi mudah untuk dijalankan. Suatu kebiasaan akan menjadi kebudayaan jika hal tersebut dilakukan dengan terus menerus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H