Ada rasa nelangsa ketika saya memutuskan menulis tentang pengenaan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) untuk Hibah di lingkup wilayah pajak Kota Antah Berantah. Pengalaman yang akan saya ceritakan, bukanlah pengalaman pribadi, melainkan milik seorang teman yang berkunjung ke kantor saya. Sore itu langit agak mendung karena baru saja turun hujan. Dan saya menebak, suasana hati sang teman tidak jauh berbeda dengan kondisi langit di luar. Mendung disertai petir.
Sang teman adalah anak bungsu dari orang tua yang sudah sangat tua. Cerita ini bermula ketika orang tuanya yang sudah berumur sekitar 70-an ingin menghibahkan tanah berikut rumah yang saat ini mereka tempati. Kebetulan teman ini adalah satu-satunya anak mereka yang belum melepas masa lajang, walaupun saya yakin keperjakaannya sudah lepas sejak pertama mengenal wanita.
Menindaklanjuti keinginan orang tuanya tersebut, sang teman mendatangi saya. Setelah mendengar ceritanya, dan menyampaikan prosedur-prosedur yang akan dilewati, diakhiri dengan negosiasi harga ("harga pertemanan" menurut pendapatnya dan bukan pendapat saya), akhirnya saya menyanggupi untuk membantu.
Berhubung status saya yang belum PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), saya meminta bantuan PPAT rekanan untuk memfasilitasi teman saya ini. Singkat cerita, persyaratan dilengkapi dan Akta Hibah disiapkan. Tentu saja, untuk hibah, teman saya terlebih dahulu harus membayarkan kewajiban BPHTB-nya.
Disinilah masalah timbul. Pada saat ini, untuk melaksanakan kewajiban BPHTB, sang empunya kewajiban terlebih dahulu harus MEM-VERIFIKASI Surat/Blangko/Form setoran BPHTB nya tersebut ke DPKA (Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset) Daerah Kota Antah Berantah. Teman saya dibantu oleh saya sendiri mengisi Surat/Blangko/Form setoran BPHTB berdasarkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang tertera pada STTS PBB (Surat Tanda Terima Setoran Pajak Bumi dan Bangunan) tahun 2015. Sepertia biasa, nominal yang diisikan pada Surat/Blangko/Form tersebut adalah lebih besar sedikit dari NJOP. Di NJOP PBB Tahun 2015 tertera nominal Rp.67.800.000,-, saya mengisi Surat/Blangko/Form dengan nominal Rp. 100.000.000,-. Lebih besar Rp.32.200.000,-.
Setelah selasai, teman saya berangkat dengan keyakinan tinggi menuju DPKA untuk melakukan verifikasi, sebelum proses penandatanganan akta hibah bisa dilaksanakan. Tidak berapa lama, dia kembali dengan muka sedikit kecewa, dikarenakan butuh waktu 5 hari kerja untuk DPKA melakukan verifikasi atas Surat/Blangko/Form BPHTB tersebut. Proses tertunda.
Seminggu berlalu, tepatnya hari ini, sore tadi. Teman saya memulai obrolan kami dengan kutipan mempesona, "Birokrasi An*j**g". Saya sudah bisa menebak arah pembicaraan.
Dia mulai bercerita, pagi-pagi sekali, sang teman sudah berangkat mengendarai motor ke DPKA untuk mengambil hasil verifikasi pajak yang dijanjikan akan selesai hari ini. Sesampainya di sana, dia langsung menuju ke loket yang sudah ditentukan. Betapa sangat kecewanya dia mengetahui Surat/Blangko/Form pembayaran BPHTB-nya "ditolak" dengan kata lain tidak bisa diverifikasi. Merasa tidak puas, temen saya menanyakan alasan penolakan. Penolakan dilakukan tanpa selembar surat-pun yang menyatakan hal itu. Ya, hanya secara lisan. Jawaban dari petugas loket adalah bahwa nilai nominal transaksi yang diisikan pada Surat/Blangko/Form BPHTB tidak masuk akal. Nah!
Tidak puas dengan jawaban petugas loket, teman saya meminta untuk bertemu langsung dengan atasannya. Jawaban yang sama diberikan oleh sang atasan. Bahkan dia menawarkan, "Jika memang nilai tanah orang tua kamu itu Rp. 100.000.000,-, saya bersedia membelinya dari kamu senilai Rp. 110.000.000,-". WOW!!!
Singkatnya, verifikasi BPHTB teman saya ditolak. Hibah tidak jadi dilaksanakan. Bukan karena tidak bisa. Bisa saja, akta hibah tetap diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Antah Berantah beserta Surat/Blangko/Form BPHTB, toh BPN Kota Antah Berantah tetap akan memproses (paling resikonya ketika PPAT yang melaksanakan proses peralihan hak, tanpa verifikasi BPHTB, dikemudian hari ketika ingin meminta Surat/Blangko/Form BPHTB, pihak DPKA tidak akan memberikannya lagi, sebelum Surat/Blangko/Form yang sebelumnya diminta, diverifikasi/atau kembali ke DPKA terlebih dahulu). Tapi teman saya yang dengan niat baik ingin mengikuti semua aturan yang ada, malah dikecewakan oleh aturan dan oknum birokrasi. "Ya sudahlah, tidak usah. Tunggu Kepala DPKA-nya diganti dulu saja".
Semoga DPKA Kota Antah Berantah dikemudian hari lebih peka terhadap hal-hal seperti ini, dan bisa mencarikan solusi mengenai "harga pasar" yang "masuk akal", agar transaksi-transaksi yang sebenarnya tidak ada untung-rugi seperti (hibah dari orang tua ke anak) ini, bisa dilaksanakan tanpa harus berhadapan dengan aturan dan birokrasi yang menurut saya, masih ketinggalan zaman. Salam.