Lihat ke Halaman Asli

Pris Chania

Blog yang dibuat untuk kumpulan Cerpen karya Pris Chania

Siapa Penyihir Asli?

Diperbarui: 12 Juni 2022   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

#Cerpen
Judul : Siapa Penyihir Asli?

MALAM itu hujan turun deras, mengguyur sebuah perkampungan sedari jam empat sore. Tiada henti, saling menyahut dengan kilasan angin dan kilatan petir. Beberapa kali angin menyapu sumbu lilin, membuat penerang itu padam. Dihidupkan kembali, diembus angin lagi, berulang kali.

Perempuan yang menatap lilin itu mendengus kesal, mematik api dan menyalakan sumbu. Angin kiranya tiada beramah-tamah, membuat usaha perempuan itu sia-sia. Jadilah dia biarkan saja diselimuti kegelapan dengan kilat yang sesekali menari di cakrawala, memberi cahaya sementara.

Jendela kaca ditutup tirai, berdebum didorong angin. Hujan merembes masuk, mengenai lantai terdekat dan membasahi tirai jendela. Akhiya merapatkan selimut, enggan beranjak menuju jendela. Seketika dia merasa diselimuti kegelapan abadi, memaksa beraninya menjadi takut.

Dia sendiri di rumah besar yang sepi, menelannya dalam hening setiap detik yang beranjak menit. Bahkan, hari-hari Akhiya mesti ditemani puluhan ilusi dan ribuan imaji liar. Dia bukanlah sosok yang penakut, tetapi malam itu seakan memakan seluruh keberaniannya.

Akhiya pucat. Bila disorot cahaya, bisa dipastikan wajah perempuan beranjak dewasa itu tanpa dialiri darah. Malam itu, Akhiya yang berani menghadapi kesendirian tiba-tiba merasa meremang dalam keadaan gelap yang mencekam.

Dia rasakan ada banyak sosok tidak kasat mata tengah menyorotnya, penuh nafsu dan hasrat. Akhiya merintih, rasa itu mendomasi dalam dirinya. Dia takut, dia merasa sangat-sangat takut hingga dia berharap malam cepat berlalu, badai cepat usai, kesendirian pun selesai.

"Tangisan siapa lagi itu?" tanyanya saat tangisan merintih pilu sayup-sayup terdengar dibawa alunan angin.

Tangis yang membuat bulu kuduk meremang, tangis Akhiya pun hadir. Hatinya terus berdoa agar ayah dan ibu pulang segera. Memberanikan diri dipeluk selimut, Akhiya tertatih mendekati jendela, membiarkan angin meniup hujan mengenai wajahnya.

Perkampungan itu sepi, rumah-rumah tiada berdiri rapat. Akhiya ingin menjerit saat melihat seseorang menggali tanah menggunakan cangkul. Namun, jeritan itu hanya mampu diredam dalam tenggorokan. Akhiya ingin memejam, tetapi matanya melawan. Tatap terus sosok itu, yang rupanya menggali tanah kuburan yang masih merah.

Jendela kamar Akhiya memang menghadap ke arah kuburan, tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, sebab rumah Akhiya dengan lokasi perkuburan kampung itu dijaraki oleh dua rumah mungil yang sama-sama tiada berlentera.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline