Hidup di negara yang dilalui garis khatulistiwa memiliki banyak keunggulan. Salah satunya adalah cahaya matahari yang berlimpah. Cahaya matahari ini yang diyakini akan menjadi salah satu sumber energi utama yang murah dan tak habis-habis. Tidak hanya sebagai "energi panas" yang kita pelajari sewaktu SD---dengan contoh mengeringkan jemuran, tetapi juga konversinya menjadi energi listrik.
Ya, energi listrik merupakan sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan. Dalam penggunaannya, energi listrik tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca atau polusi udara yang berbahaya. Dalam era perubahan iklim dan upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, energi listrik adalah pilihan yang lebih baik daripada sumber energi fosil.
Beberapa brand kenamaan dunia pun membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sendiri untuk memenuhi kebutuhan listriknya, seperti Amazon, IKEA, KOHL, Apple, dan Walmart. Meski investasi awalnya terbilang mahal, energi listrik memiliki efisiensi yang tinggi dalam konversi energi. Hal ini memungkinkan penggunaan yang lebih hemat energi dan pengurangan pemborosan energi.
Isu soal konversi ke energi listrik ini pun mengemuka di Indonesia. Belakangan, Pemerintah memberikan subsidi pada kendaraan listrik. Indonesia pun memiliki tambang nikel yang begitu besar yang dapat menjadi bahan baku pembuatan baterai guna menampung energi listrik tersebut. Namun, ada hal yang menjadi paradoks dan mengundang kritik dari berbagai pihak. Yakni, sampai kini, listrik di Indonesia disumbang oleh banyak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Menjadi paradoks, karena PLTU dianggap tidak ramah lingkungan. PLTU adalah jenis pembangkit listrik yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar utamanya. Kebetulan, Indonesia memiliki sumber batubara yang melimpah. Sayangnya, penambangan batubara tersebut memiliki dampak negatif pada lingkungan, termasuk kerusakan lahan (juga hutan), kehilangan habitat alami, dan pencemaran air. Kehilangan hutan itu membuat produksi oksigen menjadi berkurang.
Selain itu, PLTU menimbulkan polusi udara yang luar biasa. Proses pembakaran batubara dalam PLTU juga menghasilkan polusi udara, termasuk partikel-partikel halus dan emisi sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NOx), dan merkuri. Polusi udara yang dihasilkan oleh PLTU dapat memiliki dampak negatif pada kualitas udara dan kesehatan manusia, terutama di sekitar area dengan pembangkit listrik yang beroperasi. Bahkan ditengarai, kehadiran PLTU di Banten menjadi salah satu penyumpang polusi udara yang tinggi di Kawasan Jabodetabek (bukan emisi kendaraan bermotor).
Kenyataan itu membuat kita harus berpikir untuk segera melakukan transisi pembangkit listrik menjadi yang lebih ramah lingkungan. Ketergantungan terhadap batubara yang merupakan bahan bakar fosil menjadi paradoks karena tidak sejalan dengan keinginan menuju energi terbarukan.
Tentu perlu waktu untuk mewujudkan transisi yang ideal itu. Ada berbagai persoalan infrastruktur dan kebijakan yang perlu dipikirkan masak-masak.
Namun kini, ada hal yang bisa kita lakukan dalam mengelola rumah tangga yang ramah lingkungan sebagai sumbangsih bentuk kepedulian kita pada energi bersih nan terbarukan. Persoalan pembuatan panel surya sendiri sebenarnya bisa jadi solusi. Namun, selain mahal, ada aturan yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan perizinan.
Nah, kalau kita sudah beralih ke gaya hidup dengan sumber energi listrik, kudu banget kita memiliki generator listrik portable yang canggih. Salah satu brand generator listrik portable ini adalah BLUETTI.