Kalau boleh aku menyebut suatu tempat yang menyajikan makanan nikmat dengan harga hemat, tak ragu kusebut Jalan Sabang di Jakarta Pusat. Di hari-hari biasa, ia sudah menjadi tempat favorit karena berbagai kafe dan resto tersedia di sana, beserta warung-warung tenda kaki lima yang bersiap memanjakan lidah. Apalagi bulan puasa, panganan akan semakin ramai dijajakan.
Aku berani bilang bahwa warung-warung tenda itu rasanya bisa mengalahkan makanan yang dijual di kafe dan resto mahal. Harganya pun ramah di kantong. Satu porsi rata-rata 20 ribuan. Porsinya pun melimpah. Favoritku adalah nasi goreng dan sate. Meminjam istilah Nex Carlos, nggak ada obat!
Biasanya rutin kami menyelenggarakan buka puasa bersama di sana bersama sahabat-sahabat sejak SMA (bahkan ada yang sejak SMP). Artinya telah lebih 15 tahun kami saling mengenal. Namun sejak tahun lalu, aku tak ikut serta sebab aku malah kembali ke Palembang untuk menunaikan tugas belajar. Tahun ini aku kembali ke Jakarta, tetapi salah satu sahabatku sudah mutasi kerja ke Lampung. Jadinya, tidak ada lagi buka puasa bersama di sana.
Saat kutulis ini aku merindukan mereka. Sebenarnya hanya ada 3 sahabatku di Jabodetabek, yang keempat di Cilegon. Buat kami buka puasa bersama adalah bukan soal makanan yang tersaji, tetapi menjalin silaturahim dan mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan karena sudah begitu panjang perjalanan hidup kami hingga sampai di titik sekarang ini.
Teringat dulu kami adalah anak-anak ROHIS. Jauh sebelum ROHIS dihakimi sebagai tempat masuk infiltrasi radikalisme oleh kekuasaan (yang tentu saja kami tertawa mendengar itu hanya gara-gara pendidikan agama yang kami dapatkan dari senior-senior mengarah ke 'kurikulum tarbiyah'), ROHIS adalah rumah. Di sekolahku di Palembang, cap anak-anak ROHIS adalah anak-anak pintar yang mendapatkan peringkat tertinggi di masing-masing kelas. Ya, hampir semua 5 besar per kelas adalah anak ROHIS. Bahkan juara umum I dan II-nya adalah sahabatku ini.
Saat kami lulus, yang satu melanjutkan ke Teknik Elektro UI, yang satu lagi ke Teknik Industri ITB. Kebersamaan dengan mereka itu membuatku yang tadinya mendapatkan ranking 24 saat kelas 1 SMA menjadi juara kelas di 2 tahun berikutnya dan ikut menciptakan jejak sejarah karena berhasil lulus di Akuntansi STAN dan Matematika ITB.
Tapi sebenarnya kami tak begitu peduli dengan kenangan akademis itu. Yang paling bikin mata mbrebes mili adalah kebersamaan kami. Betapa sering kami makan bersama, sumbangan beli nasi lauk sayur dan tempe, lalu memakannya di atas nampan. Apalagi biasanya, saat puasa, bakda Ashar, kami akan bermain futsal terlebih dahulu (dulu bukan futsal, tapi main bola kaki di lapangan basket) baru menunggu bedug Magrib.
Jadi meski kami sudah sama-sama berkeluarga, punya anak, masih akrab sampai sekarang. Kalau sedang buka puasa bersama, tidak satu menu eksklusif untuk masing-masing orang. Namun memang, sudah biasa kami saling mencicipi menu yang kami pesan. Kesan rebutan itu bikin makan jadi lebih lahap.
Oh iya, penamaan Jalan Sabang ini sebenarnya adalah penamaan lama. Sekarang namanya sudah berganti menjadi Jalan Haji Agus Salim. Salah satu isu yang menyeruak mengenai kawasan ini adalah dijadikan kawasan pejalan kaki. Aku sangat menyetujui hal itu. Jalan Sabang sebaiknya ditutup saja khusus untuk wisata kuliner Jakarta. Toh panjang jalan ini tidak begitu panjang, masih bisa dijalani bahkan hingga Sarinah. Kamu sepakat?
Ya, bagi siapa saja yang berkunjung ke Jakarta, cobalah untuk makan di Jalan Sabang. Ya, kafe dan restonya menyajikan makanan yang enak-enak juga sih, tapi tak ada salahnya mencoba sensasi makan di warung tenda, menjadi lebih sederhana....