Syahdan, tokoh kita bernama Mat Degan. Asli dari Sungai Lilin. Setelah beranjak dewasa, Mat Degan penasaran dengan tanah leluhurnya di Banyumas. Ya, meski sudah totok berlogat Sungai Lilin, sebuah wilayah di Musi Banyuasin, Mat Degan punya darah Jawa dari kakeknya yang dibawa Belanda ke tanah Sumatra sebagai pekerja.
Mat Degan tahu dia harus naik kereta di Palembang sampai ke Lampung. Berangkatlah Mat Degan ke Stasiun Kertapati, ditemani dua sahabatnya yang bernama Subur dan Maehan beberapa hari sebelum lebaran.
Dulu, pengawasan di stasiun kereta belum seketat sekarang. Stasiun sangat ramai. Siapa saja boleh masuk ke area tunggu tanpa diperiksa tiket keretanya.
Mereka bertiga sampai ke Kertapati menjelang Magrib. Menunggu kereta datang pukul delapan malam, mereka berbuka terlebih dahulu. Merokok. Bersenda gurau.
Ya, senda gurau ala orang Sumatra Selatan seringkali berlebihan. Sampai bisa lupa waktu karena begitu serunya. Kereta datang mereka masih asik bercanda. Paling-paling masih belum berangkat, pikir mereka.
"Mat, kemarin puasaku batal," ujar Subur yang tubuhnya sesuai namanya.
"Lah ngapo?" tanya Mat Degan.
"Itulah, aku tidur siang. Kelamaan. Bangun-bangun dengar suara azan, terus langsung minum dan makan. Tahu-tahunya belum Magrib. Masih Ashar," jelas Subur.
"Kok bisa cak itu?" tanya Maehan.
"Iya, soalnya kok azan Ashar sama kayak azan Maghrib."