Ada satu isu menarik yang memulai pergantian pemerintahan dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi. Isu itu adalah isu subsidi bahan bakar minyak. Ya, kebijakan yang diambil kedua presiden ini berbeda. Presiden SBY memilih mengambil kebijakan subsidi energi (BBM dan listrik), sementara Presiden Jokowi hendak mencabutnya dan membatasinya.
Perdebatan lahir saat itu, mana yang benar. Kebijakan subsidi membuat ruang fiskal kita sempit sehingga pembangunan tidak dapat maksimal. Sementara pencabutan subsidi menimbulkan inflasi dengan efek positif ruang fiskal yang lebar untuk belanja yang lebih berdampak langsung bagi masyarakat.
Perumusan kebijakan memang tidak pernah mudah. Selalu ada sisi dua mata uang. Selalu ada kondisi yang berbeda, yang berubah, yang tidak bisa gampang kita katakan ini benar dan salah. Semua ada pro dan kontranya. Tinggal Pemerintah memilih. Dan harus rela dikritik karena pilihannya.
Yang membuat saya mengerutkan dahi waktu itu adalah pembelaan yang berlebihan terhadap salah satu pilihan. Pendukung pemerintah yang baru menyalah-nyalahkan kebijakan Presiden SBY secara berlebihan. Padahal mereka ini tadinya yang selalu berdemo tiap ada kenaikan harga BBM. Subsidi energi tidak tepat katanya. Oke kalimat itu bisa saja benar. Tapi saat itu saya bertanya-tanya, apakah kebijakan pencabutan subsidi akan tetap terjadi manakala harga minyak dunia per barelnya sama dengan tatkala Presiden SBY menjabat, yang sempat melebihi $100/barel?
Pertanyaan saya itu baru menemukan jawaban konkritnya saat ini. Kondisi geopolitik dunia menyebabkan harga minyak dunia kembali melebihi $100/barel. Dan yak, Pertalite masuk ke dalam bahan bakar bersubsidi dan Pertamax mengalami kenaikan menjadi Rp16.000 per 1 April.
Said Didu bertanya di Twitter, jika mengikuti mekanisme itu, kenapa pada saat harga minyak dunia turun tajam, penurunan harga BBM tidak tajam juga? Ini pertanyaan yang sebenarnya bisa dijawab, tapi agak ngeri-ngeri juga menjawabnya. Silakan kalau ada yang mau khusus bikin tulisan soal ini. :D
Apa yang kita fokuskan adalah kenaikan harga minyak itu secara beruntun kita rasakan. Ini barulah awal, karena kita akan menghadapi puasa yang punya sisi inflasi musiman. Inflasi musiman pada bulan puasa hingga lebaran biasanya ada pada sisi volatile food dan ini menjadi oli penggerak pertumbuhan ekonomi, ditunjang adanya stimulus berupa THR dari pemberi kerja untuk konsumsi.
Namun, kondisi yang terjadi mau tidak mau akan menggerakkan administred price, alias harga yang diatur pemerintah. Harga BBM akan berpengaruh ke harga listrik, dst. Harga transportasi pun akan naik, dobel. Karena menjelang lebaran dan kenaikan harga bahan bakarnya.