Percaya nggak waktu kecil aku pernah terlindas sepeda?
Entah kenapa kenangan itu membekas. Aku sedang duduk sambil menggambar di tanah. Tiba-tiba ada temanku naik sepeda mengebut. Seharusnya aku tertabrak, tapi dia sempat mengangkat bagian depan sehingga sepeda itu melindas tubuhku.
Pernah juga aku naik sepeda bersama Bapak. Kami naik sepeda ke Gasing. Dari Sukamoro (rumahku) jaraknya sekitar 3 km. Di sana kami menonton pertandingan sepakbola. Sempat sepeda itu dipinjam orang. Katanya mau beli es. Anehnya kupinjamkan saja. Syukurlah sepeda itu kembali. Yang lebih berkesan, saat perjalanan pulang, jalanan menanjak. Aku kelelahan, tak kuat mengayuh lagi. Sepeda kutuntun sampai rumah.
Ya, sejak kecil aku akrab dengan sepeda. Aku bahkan bisa lepas tangan dua sambil mengayuh lho.
Puasa kali ini pun aku sering bersepeda. Aku membeli sepeda bekas pada awal puasa. Sepeda lipat yang tujuannya untuk hadiah ulang tahun anakku yang ke-8. Namun ternyata sepeda itu masih sedikit kebesaran buat dia. Akibatnya, aku yang lebih sering memakai. Setiap pagi atau sore aku hanya akan mutar-mutar di dekat blok perumahanku.
Tadinya mau bersepeda lebih jauh. Namun, daerahku kini kurang aman. Bertahun-tahun tanpa begal, sudah ada beberapa aksi pembegalan di wilayah tempatku tinggal selama bulan puasa. Dua kasus terjadi tepat di jalan masuk. Saat Subuh pula. Makanya aku nggak berani bersepeda jauh-jauh.
Dulu, di Sumbawa, aku rutin bersepeda. Keliling kota. Karena Sumbawa memang kota kecil. Sebab, bersepeda itu menyenangkan.
Sejak pindah ke Jakarta, pergi sebelum terang dan pulang setelah gelap, aku jarang berolahraga. Padahal bersepeda itu banyak manfaatnya.
Salah satunya menjaga berat badan. Bersepeda juga terbukti membuat kita lebih rileks dan bahagia sehingga mencegah berbagai penyakit. Termasuk penyakit diabetes, jantung, dan kanker. Kadar lemak dalam darah akan berkurang, otot jantung pun terjaga fungsinya. Kekuatan, keseimbangan, dan koordinasi otot tubuh pun membaik.
Di Palembang, bukan cuma sepeda buat olahraga, aku juga punya sepeda ontel. Ceritanya tiba-tiba aku teringat masa kecilku. Seringkali aku menginap di rumah kakek-nenekku. Dan di sana ada banyak sepeda ontel dari zaman Belanda. Sepeda-sepeda itu dipakai untuk mereka bekerja.
Aku menyadari nilai sepeda itu. Makanya waktu aku balik mudik beberapa tahun lalu, aku sengaja mencari orang yang mau menjual sepeda ontelnya. Alhamdulillah, ketemu satu. Dijual hanya seharga 300 ribu.