Seketika ia ambruk.
Aku tahu itu akan menjadi kabar buruk.
Aku melihatnya
seperti pahlawan dalam sajak
Toto Sudarto Bachtiar. Padahal belum lelah
ia berteriak, meninju udara kosong
seolah-olah metafora sempurna
untuk kekuasaan yang tiada berarti
diduduki atau tidak diduduki.
Aku melihatnya digotong, melewati kerumunan
Air mataku ingin mendobrak habis bendungan
Peluru istimewa untuk Randi bersarang di ketiak kiri
Melewati pembuluh jantungnya dan menuju dada kanan.
Aku patah hati. Peluru tak punya perasaan.
PS:
Selamat jalan Randi, aku akan mengenangmu meski kita tidak mengenal apalagi bertemu. Semoga meski jauh dari Jakarta, negara tetap akan mengusut tuntas siapa yang telah menembakmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H