Kurang lebih dalam 2 hari, Jakarta dan sekitarnya dilanda mati lampu. Ribut. Pada hari pertama, aku sedang berada di Palembang. Jadi tidak kurasakan betul efeknya seperti apa.
Keeseokan harinya barulah aku pulang ke Citayam. Sampai rumah pukul lima sore, lampu mati. Pukul tujuh lampu sempat hidup, tetapi hanya sekitar 15 menit. Kemudian mati lagi sampai pukul 10 malam.
Seharusnya aku terlatih dengan kondisi seperti ini. Pasalnya aku anak Sumatra yang ketika kecil rutin mengalami pemadaman listrik bergilir. Dalam satu hari kadang dua kali mati lampu. Normalnya, tiga kali seminggu. Sekali mati lampu biasanya tiga jam. Mulai ketika selesai makan malam.
Aku lima bersaudara. Saat mati lampu kami akan berkumpul bersama di ruang tengah. Menyalakan sebatang lilin. Lalu cerita demi cerita akan lahir.
Kadang-kadang kami memainkan bayang-bayang dari tangan. Membentuk kambing, ular, dan elang. Kadang-kadang pula kakakku menantang untuk memainkan jari di atas lilin. Namun tidak terbakar.
Saat itu aku masih SD. Bungsu. Kakakku yang tertua sudah tahun terakhir di SMA. Kenangan-kenangan seperti itu yang membuat keeratan kami sebagai kakak beradik. Meski kini, aku satu-satunya anak yang merantau ke luar Sumatra.
Sebuah puisi pernah aku tulis untuk mengenang itu semua. Judulnya Aku Menyalakan Lilin Untukmu. Puisi ini akan termuat dalam buku puisi terbaruku yang akan terbit 12 Agustus nanti. Judulnya Sejumlah Pertanyaan tentang Cinta (Elexmedia).
aku merindukan mati lampu supaya kita dapat berpelukan
di sekitar lilin yang baru dinyalakan
bersama kita memainkan bayangbayang
dan menyaksikan dinding bak layar bioskop dengan film baru tayangaku menciptakan seekor elang
yang mengepakkan sayapnya pedih
setelah menghabiskan sekepal daging sidharta
cakarnya yang biasa gigih menjadi letih
kau menyebut cakar itu hatiku
lalu tanganmu menyalak, menjadi anjing penjagaaku telah lama meninggalkan rumah
kau telah lama menungguku pulangaku merindukan mati lampu terutama
bila hujan turun di antara dua orang kasmaran
aku akan melihat nyala lilin itu tergoda
melepaskan diri dari sumbu ketimbang selalu disalahkan
di antara kita, siapa saja boleh mengaku salah
juga boleh mengaku saling kasmaran