Kumulai surat ini dengan kata maaf.
Sebab, hari-hari selama Ramadan kerap gagal menjadi hari penuh empati, hari penuh berbagi kepada saudara-saudara sekalian yang membutuhkan. Hati ini masih terlalu bebal untuk bisa bersedekah lebih banyak, untuk mampu memaknai lapar dan dahaga sebagai cara merasakan hidup yang saudara alami.
Kadang aku ingin juga seperti beberapa teman, yang luar biasa menyisihkan sebagian besar hartanya, khusus menyiapkan menu berbuka, dibagi-bagikan kepada berbagai orang di jalanan. Tapi, sekali lagi maaf, hatiku masih terlalu keras untuk bisa berbuat seperti itu, meski aku ingin....
Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku termasuk orang yang mendustakan hari pembalasan?
Sebab, di antara sifat orang yang mendustakan hari pembalasan adalah tidak punya kasih sayang pada anak yatim dan orang miskin. Allah Ta'ala berfirman,
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya' dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS. Al Maa'uun: 1-7).
Karena itu, aku hanya bisa tidak berlebih-lebihan saat berbuka. Aku sungguh tidak ingin menjadi salah satu orang yang berfoya-foya pada bulan yang seharusnya menjadi bulan penuh rahmat.
Saudaraku sekalian,
Kurang lebih 25 juta jumlah kalian dicatat oleh statistik. Angka yang sering hanya dijadikan komoditas politik. Angka yang dijadikan tameng betapa barang mahal menjadi bukti tidak baiknya Pemerintah. Atau sebaliknya, angka itu dijadikan dalih bahwa perlindungan sudah ada. Berbagai kartu, berbagai subsidi sudah diberikan tepat sasaran.
Lantas karena itu, aku menutup mata dan berdalih juga, bahwa segalanya sudah diurus Pemerintah, segalanya sudah baik-baik saja, sehingga buat apa ikut peduli dengan kalian?
Ketika petani Kendeng berdemo, aku abai dan berkata, paling cuma oknum.