Tiga kali tiga sama dengan enam, dan aku dibilang tak lebih berotak ayam.
Aku memang tak pandai berhitung. Matematikaku tak pernah lebih dari lima setiap ulangan di sekolah. Entah aku yang bodoh atau guru Matematika itu yang tak pandai mengajar. Tapi, masalah kesabaran aku pastilah jagonya. Berkali-kali aku dihukum, disuruh berdiri di depan kelas dengan menaikkan satu kaki dan menjewer telinga secara bersilangan, aku tetap santai-santai saja. Termasuk ketika Yu Win memarahi aku (lagi) karena sudah kali kedua aku salah menghitung jumlah telur di dalam kotak kayu itu.
Tiga dari lima tetanggaku adalah orang Padang. Sisanya Batak dan Jawa. Orang-orang bilang orang Padang itu pelit. Pandai berhitung. Pacak berikin. Tapi, Manulang yang punya banyak anjing itu lebih bikin aku tak senang. Berapa kalilah aku memergoki anak-anak Manulang itu maling jambu dan rambutan di kebun. Aku sebenarnya mau nangani mereka itu, tapi sayang aku takut sama anjing. Aku paling benci dikejar anjing. Apalagi membayangkan kalau sampai taring-taring berliur itu menggigitku. Duh, mana aku harus cuci dengan tanah pula!
Salah satu orang Padang tadi memiliki tanah yang luas di samping rumahku. Masyarakat di sini membuat sebuah lapangan voli di sana sehingga tiap sore tidak pernah memiliki kata sepi. Hal paling menyenangkan selain main petak umpet dan bola kaki adalah menonton ibu-ibu bermain voli. Sebenarnya bukan terletak pada permainannya, tetapi pada pedagang yang menjajakan berbagai makanan di sekitarnya.
Ibu memberiku jatah dua ratus rupiah uang jajan dalam sehari. Seratus rupiah kala itu masih dapat permen delapan. Semangkuk kecil nasi uduk bisa dibeli dengan harga yang sama. Yu Nar, penjual nasi uduk, jajanan favoritku itu, tahu kalau aku tak doyan makan pedas dan ditambahinya sedikit irisan telur dadar (atau ditambahi porsi nasinya).
Sementara Dian dan Yeyen, entah kenapa, suka sekali minum es hoya yang warna-warni. Kata ibu, es hoya itu terbuat dari pewarna cat. Lagipula, aku cukup rentan kalau meminum es yang dijajakan di luar. Dibuat dari air mentah. Air sungai yang kotor yang jangankan dimasak, disaring pun tidak.
Besok sebenarnya ulangan Matematika. Tetapi, malam ini mati lampu. Lagi-lagi mati lampu. Seminggu tiga kali mati lampu di sini, antara jam enam malam sampai jam sebelas. Kalau petugas PLN lagi baik hati, jam sembilan lampu sudah hidup. Tetapi percuma. Ibuku yang cerewet itu sudah tentu akan menyuruhku masuk ke kamar, tidur. Lalu beliau akan lanjut menggerutu, membicarakan episode Tersanjung yang terlewatkan. Ibu-ibu zaman sekarang suka nonton sinetron.
Anehnya, bapakku juga ikut-ikutan nonton sinetron. Tiap aku bertanya PR, pastilah sambil teriak aku disuruh nanya sama Kak Dio. Kakakku satu-satunya itu jauh lebih malas dari mimik mukanya yang bermata sangat sipit meski bukan orang Cina. Apalagi Yu Win yang malah menghadiahkan kemarahan yang panjang karena aku tak bisa-bisa belajar perkalian.
"Tiga kali tiga itu sembilan, bukan enam!"
Aku diam saja. Tidak berani membantah. Dalam batinku kukatakan, "Kalau dua kali dua sama dengan empat. Dua tambah dua sama dengan empat. Kenapa tiga kali tiga yang sama dengan sembilan tidak sama dengan tiga tambah tiga?"
Karena itulah aku cuma suka buku tulis dan ayam-ayam peliharanku. Bila sore, mereka memang enggan sekali kembali ke kandang dan lebih memilih bertengger di pohon jambu. Daun-daun pohon jambu itu pun tidak hijau lagi seutuhnya, tetapi bercoreng hitam bekas kotoran ayam. Tiap sore pula aku memanjat ke atas sana dan menangkapi mereka satu per satu kemudian memasukkannya ke kandang.