Lihat ke Halaman Asli

Pringadi Abdi Surya

TERVERIFIKASI

Pejalan kreatif

Peran Orang Tua dalam Tumbuh Kembang Anak

Diperbarui: 31 Januari 2019   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi.

Hal pertama yang kujumpai manakala sampai di rumah sepulang dari kantor adalah anak-anakku yang berebut membuka pintu dan menyambutku sambil berteriak-teriak, "Abi pulang! Abi pulang!"

Hari sudah terlalu malam sebenarnya. Perjalanan pulang dari Jakarta Pusat hingga ke rumah memakan waktu kurang-lebih 2 jam. Lelah. Karena harus bertahan di tengah sesak kereta. Dilanjutkan dengan sepeda motor sejauh 6 km.

Sampai di rumah, kadang kusaksikan anak-anak belum selesai makan. Uminya kadang juga pasrah karena si kecil memulai gerakan tutup mulut. Setelah membersihkan diri, aku disodori piring makan si kecil. "Nih, gantian Abi yang nyuapin...."

Aku terpaksa berpikir kreatif. Usianya belum 2 tahun, tentu tak bisa disuruh dengan cara yang biasa. Menyodorkan ponsel dan memutar Youtube tentu juga bukan hal yang baik karena ia akan menganggap "menu utama" adalah menonton Youtube tersebut, dan makan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengganggu dia menonton.

Aku pun kemudian memikirkan sebuah cara. "Gianna, ayo cepat berubah jadi ultraman. Harus makan ini dulu biar bisa berubah... Buka mulutnya!" Dia pun mulai membuka mulut, memakan suapanku. Suapan-suapan selanjutnya aku harus beradu peran dengan kakaknya, atau uminya, yang berperan sebagai monster supaya dia terus mau makan. Biar kuat, bisa melawan monster.

Peran orang tua berarti peran ayah dan ibu, ini yang lambat kusadari dan melahirkan penyesalan. Saat anak pertama, aku masih begitu patriarkis. Menyerahkan urusan anak dan rumah ke istri sepenuhnya. Terlebih kami sempat terpisah begitu jauh dan lama karena kerja dan pendidikan. Aku di Sumbawa, NTB, dia di Bandung. Kemudian mendekat aku di Bintaro, dia di Bandung. Anakku yang pertama, dulu bisa dibilang punya berat badan yang sangat kurang.

Masalah anak kurang berat badan ini menjadi tantangan di Indonesia. Satu dari lima anak Indonesia kurang berat badan. Lucunya, kurang berat badan ini bukan karena tak mampu memberi makan anak (dari sisi finansial), melainkan karena para orang tua tak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut.


Bahaya, karena bila dibiarkan, sang anak bisa kurang gizi (wasting), bahkan kerdil (stunting). 

Kesadaran orang tua sangat dibutuhkan untuk memantau sang anak secara cermat mulai dari berat dan tinggi badan. Di Indonesia, hal itu masih sangat rendah karena selama 2018 saja, baru 54,6% balita yang dibawa ke fasilitas kesehatan untuk ditimbang dan diukur berat dan tingginya. Dan paling sedikit hal itu dilakukan 8 kali dalam setahun sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan.

Stunting tentu tak bisa diremehkan. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, hal ini berisiko terhadap penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga rentan terhadap penyakit. Anak tidak tumbuh optimal dan cenderung pendek yang menjadi indikasi adanya gangguan perkembangan otak seperti gangguan daya pikir hingga interaksi sosial, serta penyakit degeneratif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline