Kami akan bersorak bilamana di langit burung-burung berkaki panjang terbang rendah. Misman, yang rumahnya di dekat hutan, mulai bercerita, ia melihat rusa sambil menakut-nakuti kami untuk tidak mencari biji kelatak di hutan karet di dekat lapangan tembak.
Katanya, kalau rusa sudah terlihat mencari air, harimau akan tak jauh di dekatnya. Ia pun mulai mendeskripsikan betapa menakutkannya raja rimba satu itu. Taringnya. Aumannya. Tak akan ada yang selamat bila bertemu dengan pemuncak rantai makanan itu.
Masa kecilku dihiasi kenangan semacam itu. Daerahku, Sukamoro, adalah tempat air berlimpah. Bila kemarau datang, kami tak akan kekeringan. Meski kemarau panjang, beberapa mata air seperti Kali Ambon yang paling dekat dengan rumahku, tetap tak akan kering.
Waktu penggunaan dan maksimal pengambilannya saja yang diatur. Aku kerap menemani orang tuaku mengambil air di sana. Pemandangan orang-orang memikul air dengan sebilah bambu di pundak sudah menjadi keseharian.
Sekarang, semua kenangan itu murni tinggal kenangan. Bahkan Kali Ambon, yang tak pernah kering, telah tak ada. Pemandangan di sekitarnya yang semula hutan belantara telah tergantikan perumahan-perumahan baru. Nasib Sukamoro, yang jaraknya tak jauh dari Kota Palembang, menjadi semata industri hunian.
Cermin Kecil Sukamoro
Hilangnya Kali Ambon di Sukamoro adalah cerminan kondisi mata air di Indonesia. Pada Lokakarya Nasional Konservasi Air Tanah (2018), Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan inventarisasi terakhir jumlah mata air di Indonesia tercatat 10.321. Jumlah ini telah mengalami penurunan hingga 40% dalam 10 tahun terakhir[1].
Berbagai laporan matinya mata air ini merata di berbagai wilayah. Di Solo, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Air Sungai (2016) melaporkan dari total 421 mata air pada 2006, kini tinggal tersisa 233 mata air saja[2]. Ridwan Kamil (2014) juga turut mengatakan dulu Bandung memiliki lebih dari 400 seke (mata air) dan tinggal 70 yang tersisa[3]. Jumlah tersebut terus menurun seiring pembangunan di Bandung Utara sehingga menyisakan 43 seke pada 2016 (Hardjakusumah, 2017).
Senada dengan itu, di Klaten, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Klaten mencatat setidaknya 53 dari total 174 sumber mata air kering alias tak mengeluarkan air lagi[4].
Hilangnya mata air itu memberikan ancaman serius. Bukan hanya soal kebutuhan air yang terus meningkat, melainkan juga ancaman terjadinya gurun pasir (desertification) dan turunnya pertumbuhan ekonomi.
Irianto (2004) mengungkapkan bahwa jumlah mata air yang terus merosot dan kemampuan pasokan airnya menunjukkan bahwa ada ketimpangan antara pemasukan dan pengambilan[5]. Lebih lanjut, pengambilan air bumi yang dieksploitasi secara berlebihan akan menyebabkan cadangan air merosot, sehingga debit mata air menurun tajam. Dalam jangka panjang kondisi ini akan menurunkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas keanekaragaman hayati.
Menjaga Hilangnya Mata Air