Novel PHI akhirnya terbit. Bahagia rasanya melihat naskah yang ditulis bertahun-tahun itu ada di rak Gramedia Matraman kemarin. Meski, bukan buku pertamaku, tetap saja beda rasa bahagia yang hadir kali ini.
Bertahun-tahun prosesnya. Mulai dari nol, ketika aku sama sekali tak tahu harus bagaimana menulis novel. 2011. Napas menulisku yang pendek, karena baru belajar menulis cerpen, hanya menghasilkan tak lebih dari 20 halaman selama 2011. Plus tanpa ketiadaan kerangka, alur dan plot berubah-ubah dalam penulisan cerita. Hingga pertengahan 2014, aku baru menulis tak lebih dari 70 halaman saja.
Pada 2014 itu, ada lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta. Aku niatkan untuk ikut serta. Minimal 100 halaman. Aku berusaha sebisanya, namun tenggat waktu akhir Agustus, jumlah halaman tak mencukupi. Putus asa, tahu-tahunya ada pengumuman tenggat waktu diperpanjang.
Di saat yang sama, aku lulus tugas belajar DIV di STAN. Dari Sumbawa, aku kembali ke Bintaro pada awal September. Setelah mendapatkan kos, aku mulai menulis lagi. Selama satu minggu, setiap malam, aku begadang hingga pukul satu-dua dini hari. Jadilah sekitar 140-an halaman. Naskah itu akhirnya bisa kukirimkan ke perlombaan.
Mulanya, ia berjudul Pi. Bukan Phi.
Tak lama kemudian, pengumuman lomba diumumkan. Pi masuk ke dalam long list nominasi pemenang, meski tidak menang. Ada 11 judul. Pi berada di urutan ketujuh.
Pi dan Phi, Apa Bedanya
Pi berkaitan dengan lingkaran. 22/7. 3,14...sekian sekian. Phi (dibaca fi) adalah rasio emas. Berkaitan dengan deret Fibonacci. 1,618 sekian sekian.
Setelah DKJ, Pi terkatung-katung. Pi kuserahkan pada sebuah penerbit yang sebelumnya menerbitkan 4 Musim Cinta, yang merupakan nobel kolaborasi 4 penulis (aku salah satunya). Diterima, redaktur menyarani aku terlebih dahulu menyuntingnya. Di situlah perubahan terjadi. Aku merasa filosofi pi kurang tepat, meski isinya bicara tentang putaran waktu (yang ada kaitannya dengan lingkaran). Aku menggantinya dengan Phi sebagai lambang dari determinisme, takdir, ketetapan yang rigid di alam semesta.
Mengganti judul, berarti juga harus menyinkronkan banyak hal di dalamnya. Hingga akhirnya kuserahkan hasil revisi kepada redaktur.
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sang redaktur memiliki pendekatan fiksi yang berbeda denganku. Ibarat kata, redaktur pelaku normativisme, aku pelaku positivisme. Tidak ada titik temu. Akhirnya, sebagai solusi, naskah tetap diproses, dan aku diurus oleh editor yang lain.