Aisyah pernah dituduh berzina dengan salah satu sahabat Rasul, Shafwan bin Muaththal. Saat itu, Aisyah mengikuti Rasulullah SAW dalam suatu peperangan. Aisyah tertinggal di belakang. Lalu, sang sahabat yang mengantarkan Aisyah menyusul rombongan. Kemudian, kabar tak sedap itu diembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Kabar itu sampai ke telinga Rasulullah SAW hingga beliau sempat memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah ketika wahyu belum kunjung turun untuk minta pendapat kepada mereka berdua tentang perpisahan beliau dengan Aisyah.
Singkat cerita, kabar itu terbukti hanyalah fitnah. Turun pula wahyu dalam Surat An Nuur, 11:
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar."
Telah nyata, sejak dahulu kala bahwa hoaks atau kabar bohong dapat meresahkan masyarakat, bahkan bangsa. Untuk mengatasi hoaks, tentu ada dua dimensi yang harus diperhatikan: pencegahan dan penindakan. Begitu bahayanya sebuah kebohongan sampai-sampai, pada masa itu, mereka yang membantu menyebarkan mendapatkan hukuman cambuk. Apalagi yang pertama kali menyebarkan, tentu mendapatkan hukuman yang bikin jera.
Sebagai Menteri Agama, saya akan memberikan rekomendasi kepada pihak yang berwenang untuk memberikan hukuman bertingkat bagi para penyebar hoaks sesuai dengan perannya.
Pencegahan Lebih Penting
Dalam level kebijakan, pencegahan tindak kejahatan lebih terasa penting. Untuk mencegah sesuatu, kita perlu mengetahui akar permasalahannya terlebih dahulu.
Indonesia mendapatkan efek negatif sebagai negara berkembang. Negara berkembang mau tidak mau hanya mengekor kepada kemajuan zaman. Ke mana zaman bergerak, di sana kita mengikuti. Perubahan dunia dengan budaya digital disadari atau tidak ternyata membawa dampak buruk bagi kita. Sebab kita baru berbenah dari tradisi budaya lisan menuju budaya tulisan. Sebelum mapan, budaya digital telah masuk ke Indonesia.
Dampak dari arus digitalisasi informasi itu adalah kita tenggelam dalam lautan informasi. Dalam lautan informasi itu, kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Semua yang ada di internet, media sosial, kita anggap sebagai kebenaran dan kita tak ragu ikut menyebarkannya.
Pola pikir inilah yang harus dicegah, yakni dengan kembali membangun pondasi budaya literasi yang secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Namun, sebenarnya literasi memiliki makna lebih. Literasi berarti pengetahuan. Kemampuan literasi seseorang berarti seseorang tersebut memiliki pemahaman terhadap sesuatu dan bertindak dengan pemahamannya itu.
Pematangan Kemampuan Literasi dan Kebijakan Sebagai Menteri