Apa yang akan ditanyakan orang tuamu pertama kali ketika meneleponmu?
Bapakku tidak bertanya kabar. Ia akan bertanya aku sudah shalat atau belum. Aku ngaji atau nggak. Dan kalau aku sudah shalat, beliau akan menegaskan shalat yang baik adalah shalat berjamaah di masjid. Soal kabar, itu nomor dua.
Di usianya yang menginjak 63 tahun, ia kerap mengunjungiku karena aku anak satu-satunya yang merantau. Anak bungsu pula. Dia tahu begitu bandel dan soliter. Tidak bosan-bosannya dia mengingatkanku untuk datang ke masjid, karena di masjidlah tempat kita bisa bersosialisasi dan bersaudara sesama muslim. Di mana pun---ketika aku di Sumbawa Besar, di Bandung, di Depok, maupun di Bogor, beliau akan datang dan mencari masjid.
Tempat yang pertama kali ia cari adalah masjid. "Di mana masjid yang bagus?" Masjid yang bagus menurutnya bukanlah masjid yang jamaahnya setelah shalat langsung bubar. Ia menyukai masjid yang banyak zikirnya, yang ada interaksi antar jamaahnya.
Aku pernah mendengar seorang teman berkata, kalau hidup kita sekarang baik-baik saja, padahal kita sebegitu brengseknya, jangan pernah bangga apalagi membanggakan diri. Barangkali kesuksesan kita, baik-baik sajanya kita, adalah berkat doa kedua orang tua kita. Aku merasa kedua temanku itu benar. Kedua orangtuaku memang orang yang baik sekali. Sejak kecil, aku yakin sekali, doa mereka tak putus kepada anaknya.
Jika ditanya, siapa sosok paling inspiratif di tengah keterbatasan yang dialami, aku akan menjawab Bapak. Bapak menjadi contoh ideal bagaimana cara berjuang hidup bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk masyarakat.
Supartijo namanya. Beliau anak ke-7 dari 16 bersaudara. Di tengah keterbatasan ekonomi, dengan banyaknya anggota keluarga, pada umur 4 tahun, beliau dibawa oleh kerabat untuk merantau/bertransmigrasi ke Sumatra Selatan dari Tambak, Jawa Tengah. Orangtua angkatnya berprofesi sebagai buruh tani.
Kehidupan yang keras beliau jalani bersama delapan anak angkat yang lain. Ia kerap bercerita bagaimana sejak kecil ia sudah turut bekerja mengangon sapi, ngarit rumput untuk makanan ternak yang digunakan untuk membiayai sekolah. Beliau percaya salah satu cara mengubah nasib adalah dengan menempuh pendidikan setinggi mungkin.
Lulus Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), darah petani yang mengalir di nadinya membuatnya semakin terjun di dunia pertanian dan perkebunan. Keliling Sumsel untuk menghidupi keluarganya, ia masih punya hasrat yang tinggi pada pendidikan. Pada akhirnya, ia bisa berkuliah dan meraih gelar sarjana saat sudah berusia 38 tahun.
Titik Balik
Ketika krisis moneter terjadi pada tahun 1997, ia justru mendapat berkah tak terduga. Nilai tukar yang melemah membuat modalnya naik 7 kali lipat dan ia memiliki kapasitas yang lebih besar untuk berusaha. Ia pun memiliki divisi usaha perkebunan karet dari hulu ke hilir, mulai dari menjual biji karet (kelatak), mata tidur, bibit karet poly bag, hingga ke getah karet.