Jalan ke surga hanya perlu dua langkah. Langkah pertama, kau hanya perlu melewati pagar pembatas yang tingginya tak sampai satu meter. Dan langkah selanjutnya, kau akan temui hal-hal yang dibincangkan mengenai Malimbu. Laut yang begitu biru. Ombak yang begitu deru. Dan aku tak tahu, mana di antara kita yang memiliki tangis lebih haru.
Orang-orang belajar menangkap cahaya, momen---tapi bukan inersia. Lengkungan jalan belum cukup 360 derajat bagi sebuah benda untuk berotasi, meski kau ada---sebagai poros. Tapi, aku tak dapat menangkapmu hari itu. Dunia tiba-tiba monochrome. Hitam dan putih. Benar dan salah. Warna pasir, warna langit, warna dedaunan yang hijau ditimpa matahari memudar. Pertemuan denganmu beberapa hari lalu seharusnya tidak mengantarkan kita ke Malimbu.
"Kenapa kita harus bertemu?" Seharusnya, untuk sebuah pertemuan setelah lima tahun berpisah, bukan kalimat itu yang aku harapkan. Tak ada jabat tangan, tak ada satu pun senyuman. Memikirkan jawaban pertanyaanmu, aku tak tahu harus menjawab apa. "Hanya ada dua alasan," jawabku sekenanya.
"Apa itu?"
"Pertama, aku datang. Lalu kau juga turut datang."
"Lazuardi."
"Lazuardi?"
"Kau tak ingat?"
Mana mungkin aku tak ingat. Surat-suratmu yang masih tersimpan rapi hingga kini selalu dimulai dengan kata itu. Betapa bodohnya aku yang tak mengerti dengan arti kata itu---lazuardi. Biru muda seperti warna langit. Dan tiap kali melihatmu, aku merasakan nuansa yang sama dengan segala makna yang termaktub dalam kata "lazuardi". Luas. Tak terjangkau. Dadaku yang tipis terasa kembang kempis, sesak, di saat-saat aku mengingat betapa kau tega meninggalkanku.
"Nuril." Aku memanggil nama belakangmu. Pasti kau akan marah.
"Tolong jangan panggil aku dengan nama itu.... Panggil aku Lale!" Nadamu agak meninggi.