Lihat ke Halaman Asli

Pringadi Abdi Surya

TERVERIFIKASI

Pejalan kreatif

Tere Liye, Royalti, dan Pajak Penulis

Diperbarui: 9 September 2017   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rindu. Tere Liye. Sumber: Hartonomall.com

Tere Liye membuat dunia perbukuan gempar. Baru saja ia merilis pernyataan tidak akan menjual bukunya lagi di toko buku disebabkan ketidakadilan pajak penulis yang ia rasakan. Berbondong-bondong para pelapak online segera menjaga koleksi buku Tere Liye mereka karena bisa jadi nanti hal ini menyebabkan kelangkaan buku Tere Liye dan harganya semakin mahal di pasaran.

Sebelum ke benar atau salahnya argumen Tere Liye, saya sebenarnya ingin mendiskusikan mengenai royalti itu sendiri. Apakah royalti untuk penulis itu besar atau kecil?

Royalti bagi penulis Indonesia untuk penerbit besar berkisar antara 10-15%. Cetakan pertama berjumlah 3000-5000 eksemplar rata-rata royaltinya 10% dan akan meningkat jika masuk cetakan-cetakan berikutnya hingga maksimal 15% (meski masih ada penerbit yang memberikan royalti di bawah 10% dan kasus khusus untuk penulis mega best seller di atas 15%). Angka ini ternyata cukup besar bila dibandingkan dengan pegiat seni lainnya seperti musik yang royaltinya maksimal 10%.

Bagaimana royalti penulis di negara lain?

Sumber: abrandnewday

Di Amerika dan Eropa, ternyata angka royalti bagi penulis juga berkisar antara 10-12,5% untuk hardback, dan 7,5-10% untuk paperback. Royalti 15% diberikan untuk para penulis eksepsional. Jepang juga demikian. Namun, yang membedakan adalah kebanyakan penerbit di Jepang membayar secara penuh hak penulis paling lambat sebulan setelah terbit.

Sementara di Indonesia, royalti dibayarkan rata-rata per semesteran berdasarkan hasil penjualan buku. Katakanlah di dalam laporan penjualan, sebuah buku terjual 1000 buku dalam 6 bulan, ya penulis hanya menerima haknya 10% dari omset penjualan 1000 buku tersebut.

Cara Jepang ini sesungguhnya sama persis dengan sistem syariah. Pembayaran royalti seperti di Indonesia itu bisa diperdebatkan karena mengandung spekulasi dan ketidakpastian. Nasib penghasilan penulis yang sudah berdarah-darah menulis masih harus ditentukan oleh hasil penjualan buku. 

Seharusnya, penerbit lebih menghargai hasil kerja penulis dengan membeli sekaligus untuk satu kali terbitan. Misal, cetakan pertama 3000 eksemplar, ya penerbit langsung membayar hak penulis sebanyak 3000 eksemplar tadi di muka. Untuk win-win solution, penerbit bisa menawarkan royalti yang lebih rendah, misalnya 8% tetapi dikalikan langsung dengan total cetakan pertama. Dengan begitu, penulis tak perlu pusing-pusing menantikan laporan penjualan dan bisa fokus menulis.

Tapi kan 10% kecil banget, padahal harga buku mahal?
Industi perbukuan memiliki proses bisnis yang panjang. Ada penerbit (kadang terpisah dengan percetakan), ada distributor, ada toko buku, ada penulis, ada pemerintah. Setiap pihak memiliki proporsinya masing-masing.

Misal, untuk buku dengan harga 100.000, proporsi pendapatan dari setelah PPN disisihkan terlebih dahulu seharusnya:

  • Penerbit 38% x 100.000 = 38.000
  • Royalti penulis 10% x 100.000 = 10.000
  • Distributor 17% x 100.000 = 17.000
  • Toko buku 35% x 100.000 = 35.000

Penerbit terlihat paling besar, padahal itu belum dipotong biaya produksi yang melibatkan proses percetakan, biaya layouting, editor, proofreader dan penggambar sampul. Saya juga pernah menyalahkan toko buku, tapi toko buku ditekan oleh biaya sewa tempat yang sangat mahal, sementara distributor tak bisa disalahkan juga karena geografi kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline