Lihat ke Halaman Asli

Pringadi Abdi Surya

TERVERIFIKASI

Pejalan kreatif

Gender dan Makna Spiritual di Baliknya

Diperbarui: 15 Juli 2017   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: huffingtonpost.com

Ketika SMA, saya pernah bertanya kepada kakak kelas, kenapa kata ganti Tuhan dalam bahasa Inggris memakai kata he, bukan she. Tidak seperti bahasa Indonesia yang tidak membedakan kata ganti orang ketiga (dia/ia), bahasa Inggris menggunakan he untuk kata ganti orang ketiga laki-laki dan she untuk perempuan. Lalu, apakah Tuhan adalah laki-laki?

Tuhan dalam ajaran Tauhid tidaklah mengenal jenis kelamin. Ia (Tuhan) bukan laki-laki juga bukan perempuan. Ia mewadahi semua aspek gender, baik maskulin maupun feminin. Salah satu contoh sisi feminin Tuhan adalah sifatnya dalam arrahim, Maha Penyayang, yang kemudian kata tersebut diserap dan bertransisi menjadi rahim yang dimiliki oleh perempuan.

Penggunaan he juga sesuai dengan kata "huwa" dalam bahasa Arab. Kedua kata tersebut sebenarnya tidaklah merujuk pada jenis kelamin, melainkan pada sifat maskulin. Setiap kata dalam bahasa tersebut memiliki salah satu sifat (maskulin/ femimin), dan tidak ada kata yang netral. Maka, satu kata harus dipilih, dan kata tersebut akan memengaruhi kata selanjutnya. Inilah salah satu keterbatasan bahasa, sekaligus keterbatasan manusia, bahkan untuk hanya mengungkap Tuhan yang mewadahi sifat baik maskulin maupun feminin.

Dari sini, bisa dilihat beberapa hal. Pertama, gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender bisa dibilang sebagai peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Dan hal tersebut lahir dari hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, pemilihan kata he atau huwa bisa jadi juga akibat karakteristik zaman ketika wahyu diturunkan masih menyajikan dominasi laki-laki atas perempuan.

Dominasi tersebut, menurut Kate Millet dalam bukunya Sexual Politics (1970) bersifat politis. Hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. Patriarkalisme melebih-lebihkan perbedaan fisik laki-laki dan perempuan yang menyebabkan laki-lakilah yang seharusnya mempunyai peran yang dominan dan lebih baik dari perempuan.

Dalam metafora pun, perspektif tentang dominasi ini begitu kental. Paling sederhana, penyebutan matahari dan rembulan yang sering dipakai di berbagai puisi juga mewakili laki-laki dan perempuan. Matahari untuk laki-laki, karena sinarnya yang terik dan keberadaannya yang tegas. Bulan untuk perempuan karena cahayanya yang lembut dan keindahannya yang tak terperanai.

Metafora ini pun kemungkinan datang dari dewa-dewa di dalam Mitologi Yunani. Dalam mitologi Yunani kuno adalah Helios atau Dewa Matahari. Kata dewa digunakan sebagai simbol dominasi laki-laki. Sementara itu, dewi bulan dalam mitologi Yunani kuno bernama Selene. Selene merupakan adik dari Helios---ini juga menunjukkan kekuasaan Helios yang lebih tinggi dari Selene.

Dalam sebuah novel berjudul Siwa karya Amish, perspektif matahari dan bulan ini juga disebut berhubungan dengan keseimbangan alam semesta. Dalam ajaran dharma Hindu, ada dua wangsa yang pernah berseteru. Ialah Wangsa Surya (matahari) dan Wangsa Chandra (rembulan). Dalam perjalanan spiritualnya menuju Mahadewa, Siwa mendapatkan pengajaran dari para pendeta Basudewa. Salah satu pendeta Basudewa itu mengatakan, Wangsa Surya identik dengan laki-laki, dan Wangsa Chandra identik dengan perempuan. Kedua Wangsa tersebut memiliki cara hidup yang berbeda.

Kumparan.com

Tentang cara hidup ini: satu hal yang membuat manusia istimewa dibandingkan makhluk lain adalah kemampuan manusia bekerja sama (sekaligus bersaing), bukan hanya dalam perdamaian, tetapi juga menciptakan peperangan. Karena keistimewaan inilah, manusia yang hidup bersama, juga memerlukan cara hidup bersama. Dan dari cara hidup apa saja, sebenarnya ada dua cara hidup, yakni cara hidup laki-laki dan cara hidup perempuan.

Cara hidup laki-laki adalah cara hidup berdasarkan aturan, yang berpusat pada sosok pemimpin yang hebat. Cara lelaki sangatlah jelas. Aturan tidak bisa diubah dan juga harus dipatuhi secara penuh. Tak boleh ada rasa ragu. Sami'na wa ato'na. Kami dengar, kami taat. Kehidupan yang seperti ini sangat normatif. Wangsa Surya yang hidup di Meluha adalah contoh dari cara hidup laki-laki.

Cara hidup perempuan adalah hidup berdasarkan kemungkinan-kemungkinan. Tak ada yang sifatnya mutlak. Tak hanya ada hitam atau putih, juga ada abu-abu dan warna lainnya. Orang tidak akan bertindak sesuai aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, tetapi berdasarkan sebab dan akibat yang berbeda yang bisa dipahami pada waktu tertentu sesuai dengan konteksnya. Cara hidup seperti ini punya aturan yang lunak. Suatu aturan bisa diartikan dengan cara yang berbeda pada waktu yang berbeda. Semua bisa berubah, tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Wangsa Chandra di Swadipa merasa nyaman hidup dengan perbedaaan.

Lalu manakah yang terbaik dari kedua cara hidup tersebut? Tidak ada!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline