Lihat ke Halaman Asli

Pringadi Abdi Surya

TERVERIFIKASI

Pejalan kreatif

Tak Ada Salahnya Menjadi Sastrawan Sosialita

Diperbarui: 30 Mei 2016   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roland Barthes. Sumber: ceasefiremagazine.co.uk

The Dead of The Author. Sapardi Djoko Damono pun menulis buku Pengarang Telah Mati. Sengaja digunakan kata pengarang bukan penulis--yang digunakan Anindhita S. Thayf dalam opininya di Republika beberapa waktu lalu. Dalam hal ini, saya kurang paham alasan Anin menggunakan kata penulis itu.

Sebelum merujuk ke judul, saya pun mencoba menerka kembali maksud dari Roland Barthes. Eseinya pada tahun 1967 itu mengatakan bahwa pembaca harus memisahkan karya seseorang dari diri penciptanya agar tidak terjebak pada interpretasi tertentu. Pada dasarnya, setiap karya bersifat terbuka. Pembaca bisa memasukinya dari mana saja. Barthes tak menginginkan bila pemaknaan terhadap suatu karya menjadi hanya apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Barthes tak mau makna dibatasi karena tak menutup kemungkinan pembaca justru dapat memaknai lebih.

Barthes menggunakan kata author dalam relasi katanya terhadap authority, yang berarti wewenang atau kekuasaan. The Dead of The Author berarti kematian pengarang adalah pengarang tak memiliki kuasa lagi terhadap karyanya. Haknya sudah berpindah ke pembaca yang memutuskan interpretasi seperti apa yang lahir dari karya tersebut.

Esei ini kemudian melahirkan pemikiran dan pendekatan terhadap kritik sastra. Dan bukan pula tanpa balasan karena Sean Burke kemudian membuat tulisan berjudul The Death and Return of Author. Terlepas dari bila kita ingin mengulik jauh lebih dalam apa yang dimaksud dengan Roland Barthes, saya pribadi merasa sangat heran ketika esai tersebut kemudiandikaitkan dengan sastrawan hanya boleh berada di ruang sepi, di dalam kamarnya saja, dan menjustifikasi festival-festival sastra yang ada (terlebih bila dilabeli dengan internasional) sebagai kegiatan para sastrawan sosialita.

Toh, Tak Ada Salahnya Menjadi Sastrawan Sosialita

Sosialita berasal dari kata sosial dan elite. Dikembalikan kepada makna aslinya, sosialita berarti kelompok kecil orang-orang terpandang yang suka memperhatikan kepentingan umum, berkenaan dengan masyarakat. Kita kesampingkan dulu makna "kelompok kecil orang-orang terpandang" tersebut.

Tiga festival sastra bertaraf internasional yang ada di Indonesia saat ini bisa kita sebut Ubud Writers Readers Festival (UWRF), Makassar International Writers Festival (MIWF) dan ASEAN Literary Festival (ALF) atau yang lain. Bisa kita lihat pula tiap festival punya ciri dan keunikannya masing-masing.

Tuduhan Anin bahwa ajang-ajang ini justru lebih ke ajang kumpul dan pamer agaknya perlu dibantah. Sabagai apa-apalah, saya setuju jika selama ini banyak sekali acara kumpul-kumpul sastrawan tidak menghasilkan outcome/manfaat. Datang, seminar, baca karya, haha hihi, selesai, pulang. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan kita dalam merencanakan sesuatu. Dan ini terjadi dalam segala bidang. Tidak hanya dilakukan oleh sastrawan, juga birokrat pada umumnya. Negara merencanakan suatu kegiatan hanya berhenti pada output. Pertanggungjawaban berhenti sampai di situ. Ada input, ada kegiatan, ada hasil yang dicapai. Selesai.

Namun, karena Anin terlalu lama berada di dalam kamarnya, Anin tidak tahu bahwa dunia berubah, negara berubah, dan penghuni dunia sastra juga berubah. Negara kini mengenal yang namanya logic model dalam penganggaran, ada juga spending reviu, dan penyerapan anggaran tak lagi satu-satunya parameter kinerja. Bahkan bukan hanya pada level outcome, negara juga tengah mengkaji dan merumuskan kinerja hingga level impact/dampak.

Logic Model. Sumber: BPPK.

Dalam merancang kegiatan berdasarkan logic model ini tampak jelas di MIWF. Saya memahami kenapa Ika Natassa kemudian begitu reaktif dengan tulisan Anin karena Ika sudah merasakan sendiri bagaimana suasana MIWF. Bukannya bijak, Anin malah menjawab ia bukan penganut empirisme, jadi tidak perlu datang untuk tahu.

Tidak hanya karya yang bersifat terbuka, MIWF pun dirancang demikian adanya. Semua kegiatan gratis. Siapa saja boleh ikut. Aan Mansyur, dkk dibantu dengan ratusan volunter menyelenggarakan kegiatan ini. Kreasi mereka terlihat jelas di sana. Tiap tahun, anak muda yang melamar jadi volunteer juga bertambah sedemikian pesat. Kalau di Jakarta, kita saksikan dominan muka tua di acara sastra, di Makassar tidak. Fort Rotterdam selalu dibanjiri anak muda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline