Lihat ke Halaman Asli

Pringadi Abdi Surya

TERVERIFIKASI

Pejalan kreatif

Mencatat Kembali Asean-Japan Residency Program

Diperbarui: 10 Mei 2016   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para Peserta Program Saat di UHAMKA. Dokumentasi pribadi.

Pagelaran ASEAN Literary Festival 2016 ditutup Minggu malam. Penghormatan khusus diberikan kepada Budi Da rma atas dedikasinya di bidang kesusastraan. Orang-Orang Bloomington, kumpulan cerita pendeknya kembali diterbitkan oleh Bentang. Penampilan Oppie Andaresta ketika melagukan puisi milik Joko Pinurbo pun mengundang tepuk tangan riuh.

Rasa lega hadir karena jalannya acara yang semula nyaris batal karena adanya ancaman dan demonstrasi dari pihak tertentu itu  dapat berjalan. Tuduhan bahwa Asean Literary Festival adalah bagian dari kebangkitan PKI sesungguhnya salah besar. PKI sudah mati. Komunisme hanya masa lalu. Kita lihat Tiongkok yang disebut negara komunis pun sudah berjiwa kapitalis. Pemisahan ideologi dengan sebegitu tegas dan kaku adalah bagian dari sejarah. Kepentingan sastra tidaklah pernah memihak pada salah satu ideologi apapun. Sastra sejatinya berupaya menyuarakan hal-hal yang dibisukan. Dengan sastra, manusia bisa melakukan pembacaan kembali atas sejarah itu—sejarah yang tidak pernah dipelajari di bangku sekolah.

Di luar segala isu yang hadir itu, ada yang istimewa dari ALF 2016 kali ini. Untuk kali pertama sejak ALF 2014, ALF memiliki program residensi. Sebanyak 13 pemuda dari 9 negara dipilih oleh kurator untuk mengikuti residensi di Kampung Muara, Jakarta Selatan dengan sebelumnya mengirimkan karya sastra maupun jurnalistiknya. Mereka adalah Stephanie Ye (Singapura), Heng Oudom (Kamboja), Ha Trang Van (Vietnam), Ridhwan Saidi (Malaysia), Quratul ‘Ain (Brunei), Zelia Vital (Timor Leste), Christian Sendon Cordero (Filipina), Akina Shu (Jepang), dan yang dari Indonesia adalah Sebastian Partogi (Jakarta), Christian Senda (Kupang), Guntur Alam (Sumatra Selatan), Rio Johan (Sumatra Selatan) dan Pringadi Abdi Surya (Sumatra Selatan).

img-20160502-183558-57313511c823bd27056acc39.jpg

Sesi bersama Saras Dewi, membahas berbagai isu. Dokumentasi pribadi.

Selama 6 hari, mereka ditempatkan di satu atap di Kampung Muara dan menjalani berbagai kegiatan bersama-sama. Selain membahas soal perkembangan sastra di negara masing-masing, juga isu-isu yang tengah berkembang di ASEAN dan Jepang, para penulis muda ini juga membaur bersama masyarakat dengan mengadakan berbagai aktivitas dengan anak-anak. Konsep sastra masuk kampung yang divisikan oleh Rumah Muara dijewantahkan dengan baik. Misalnya saja anak-anak diajarkan origami, menyanyi, menari, bercerita, sampai membuat manga. Para penulis muda ini juga mempelajari kebudayaan Betawi dengan mendatangi padepokan silat, Setu Babakan, hingga ke Ben Radio. Dialog dengan mahasiswa juga dilakukan dengan mandatangi kampus UHAMKA.

img-20160503-092625-5731353083afbd910fb9da7b.jpg

Berbaur dengan anak SD. Dokumentasi pribadi.

fb-img-14623546112757592-573135a0b67e61850564f741.jpg

Berkunjung ke Ben Radio. Dokumentasi pribadi.

Keberagaman para peserta tidak hanya dari kebangsaannya saja, melainkan latar belakang dan karakter. Misalnya Christan Sendon dari Filipina adalah seorang dosen di usia mudanya. Ia berkutat banyak dalam menulis puisi, membuat film dan penerjemahan karya-karya sastra dunia di Filipina. Lain lagi dengan Stephanie dari Singapura yang menulis cerita pendek dan pernah berkesempatan mendapat pelatihan menulis di IOWA, Amerika. Akina Shu dari Jepang adalah seorang editor dalam buku-buku textbook.Sementara dari Rio Johan yang bukunya pernah terpilih menjadi buku terpuji pilihan Tempo adalah cerpenis muda yang sedang menjadi perhatian banyak orang. Pringadi Abdi sendiri, meski tak seterkenal Rio Johan maupun Guntur Alam, memiliki latar belakang dunia keuangan publik dan penerbitan, selain menulis puisi, cerpen dan novel.

img-20160508-130425-57313550ca23bd5f05e83ca3.jpg

Salah satu panel diskusi bersama dengan Heng Oudom, dkk. Dokumentasi pribadi.

Barangkali sudah saatnya, residensi semacam ini juga digalakkan untuk menentukan identitas ASEAN. Kerja sama dalam bidang pengalihbahasaan karya-karya sastra juga perlu diperhatikan. Ini sejalan dengan semangat MEA tentang arus tenaga kerja, mengingat penulis adalah sebuah profesi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline