Lihat ke Halaman Asli

primus nahak

1322300033

Pendekatan dan Konsep Judicial Restraint

Diperbarui: 30 Juni 2024   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Logika dan penalaran merupakan bagian paling penting dalam membangun sebuah argumentasi hukum yang baik. Penalaran hukum telah berkembang dengan berbagai pendekatan yang sangat beragam sehingga dalam penalaran atau argumentasi hukum merupakan kegiatan berpikir yang problematis dan tersistematis. Sejauh yang kita amati Bersama-sama bahwa dalam media-media nasional, salah satu isu yang diperbincangkan oleh berbagai pemerhati hukum di Indonesia adalah terkait dengan perihal pendekatan judicial restraint yang dilakukan oleh Lembaga peradilan. Khususnya, Mahkamah Konstitusi dalam memutus sebuah perkara.

Secara sederhana, pendekatan dengan judicial restraint merupakan sebuah prinsip-prinsip yang lahir dan berlandaskan pada demokrasi dari tradisi hukum amerika serikat. Menurut James B. Tahyer judicial restraint, sebagai prinsip tertinggi dari teori hukum ketatanegaraan. Prinsip tersebut menolak kedudukan peradilan sebagai Lembaga utama dalam system politik dalam sebuah negara.

Jika melihat dari uraian diatas, pendekatan judicial restraint adalah akar dari demokrasi. Hanya saja, ada sebuah penekanan pada pendekatan tersebut. Sehingga bagaimana penerapan konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Fungsi Judicial Restraint adalah suatu prinsip yang mengharuskan pengadilan atau mahkamah untuk menahan diri untuk membuat putusan yang bersinggungan dengan kewenangan legislatif dan muncullah salah satu istilah yang dikenal dengan judicial restraint yang artinya "pembatasan atau pengekangan hakim/pengadilan.

Tujuan Hukum adalah semata-mata untuk mencari keadilan. Sedangkan konsep keadilan yang digunakan adalah konsep keadilan sebagai kejujuran, jadi prinsip keadilan yang paling adil itulah yang dipedomi.

*Karakteristik judicial restraint atau lebih menekankan pada Lembaga peradilan untuk membatasi diri agar tidak mencampuri urusan kewenangan legislatif, eksekutif dan Lembaga yudikatif. Sehingga terkesan tidak mengadili maupun dalam membuat suatu kebijakan yang jelas bukan ranah atau kewenangannya. Oleh karena itu, pendekatan ini menilai bahwa Lembaga peradilan bukan pemeran utama dalam relasi struktur dan politik sosial. Sehingga lebih dominan pada institusi yang mencerminkan representasi rakyat.

Ada beberapa kategori dalam pendekatan judicial restraint adalah

      a. Formalism, merupakan suatu pendekatan secara tegas bahwa hakim hanya menjalankan perintah UU dan tidak membuat UU.

     b. Proses jurisprudence, merupakan kedudukan hakim yang tidak mempunyai kewenangan dalam membuat suatu kebijakan atau Keputusan

    c. Constitusional restraint, hakim sangat sulit menyatakan inkonstitusional atas tindakan yang dilakukan legislative maupun eksekutif dalam membuat UU.

Pendekatan ini memang sangat diperlukan sebagai bentuk keaktifan hakim dalam menggunakan metode penemuan hukum untuk menjawab isu-isu hukum, sehingga melalui pertimbangan hukum dalam putusannya, hakim dapat memberikan nilai-nilai keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Demikian terdapat tiga kekuasaan yang harus saling menghormati terhadap batasan-batasan kewenangan masing-masing Lembaga, yakni, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan Undang-undang, kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat atau merumuskan Undang-undang dan menjalankan fungsi peraturan, dan, kekuasaan yudikatif adalah untuk menghakimi pelaksanaan Undang-undang atau aturan lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline