Lihat ke Halaman Asli

Anonim Menggambarkan Kekerdilan Jiwa ?

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kebebasan berpendapat memang harus dijunjung tinggi, karena bila tidak berarti kitapun kembali ke zaman kelam, mengalami kemunduran di era demokratisasi yg justru sedang giat digaungkan di negeri ini. Kebebasan berpendapat memang perlu dimulai, untuk membiasakan rakyat dan khususnya pemimpin negeri ini legowo menerima kritik yg dapat menjadi feedback bagi sebuah proses pembenahan diri. Bahkan konon orang akan sulit maju tanpa kritik dan tidak akan berkembang bila menutup diri dari kritik karena akan selalu merasa paling benar dan unggul. Kebebasan berpendapat memang harus dibudayakan, sehingga memungkinkan alur informasi berimbang bagi masyarakat luas, yang akan mengimbangi info2 dari media arus utama yg belum tentu menyentuh hal2 yg sering dianggap remeh temeh namun menarik dan sering luput dari pemberitaan arus utama. Budaya menghargai kebebasan pendapat yg dibangun pada bangsa ini juga yg akhirnya akan memupus tindakan2 anarki sepihak terhadap para jurnalis, memberangus kekerdilan jiwa terhadap kritik.

Namun harus diingat...

Kebebasan berpendapat harus disertai sebuah TanggungJawab. Tanggungjawab kepada lingkungan sekitar, tanggungjawab sebagai bagian dari masyarakat.

Bahkan dalam tataran lebih tinggi lagi bila memungkinkan melalui pendapat setiap orang dapat berperan aktif menunjukkan tanggungjawabnya sebagai warganegara di republik ini, tanggungjawab untuk turut mencerdaskan bangsa, tanggungjawab untuk turut berperan memajukan dan membenahi negara tercinta, walau sekedar melalui sebuah pendapat dan tulisan.

Untuk itu, pendapat maupun informasi yg diberikan hendaknya dapat memberi nilai lebih bagi pembacanya, syukur2 bisa memberi manfaat positif kepada masyarakat, setidaknya mencerahkan atau paling tidak sekedar sebuah info yg dapat dipertanggungjawabkan, yg mengacu pada fakta, keabsahan teori atau bila memungkinkan data yg valid.

Sehingga bila membuat tulisan non fiksi maka menulislah berdasarkan fakta yg kasat mata, yg sudah ditemukan, kecuali memang meniatkan diri untuk menulis fiksi dimana seluruh tokoh dan cerita di dalamnya pun haruslah fiktif.

Banyak hal yg sebenarnya dapat diberikan dalam konteks kebebasan berpendapat, apalagi di era teknologi dimana beragam media tersedia. Tergantung kita akan memberikan yang mana. Yg positifkah atau negatif? Tergantung pilihan kita.

Peran seperti apakah yg ingin kita mainkan dalam konteks bermasyarakat.

Kesadaran dan pilihan peran tentu akan mencerminkan seperti apa kualitas kedewasaan penulisnya.

Bersembunyi di balik sebuah alias atau bahkan anonim tentu tidak mencerminkan sebuah jiwa yg dewasa. Menggunakan alias dan anonim menunjukkan si penulis tidak siap terhadap tanggapan dan bahkan kritik atas pendapat yg dilontarkannya sendiri, yg berarti si penulis tidak siap untuk proses pembenahan dan pengembangan diri.

Menanggapi atau mengkritik dengan menggunakan alias dan anonim juga menggambarkan kekerdilan jiwa, ketakutan untuk menerima kembali feedback atas kritikannya. Atau bahkan memang sejak awal melontarkan tanggapannya, si pengkritik sudah dihantui ketakutan akan tanggungjawab sosial yg akan dituntut oleh masyarakat pembaca karena memang merasa telah melontarkan kritik/tanggapan tanpa dasar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline