Lihat ke Halaman Asli

Pajak Emisi, Sebuah Harmoni dalam Pembangunan Berkelanjutan

Diperbarui: 20 Desember 2016   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Indonesia berkomitmen m‎enurunkan emisi sebesar 29 persen, yang di bawah business as usual pada tahun 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato dalam Konferensi Perubahan Iklim Dunia atau Conference of the Parties (COP)21 UNFCCC di Paris, Perancis, Senin malam waktu Indonesia, seperti dimuat dalam situs Sekretariat Kabinet, Selasa (1/12) (dikutip dari katadata.co.id).

Pembangunan infrastruktur saat ini merupakan sebuah kebutuhan operasional yang tidak bisa dilepaskan dari Indonesia. Sebagaimana negara dengan status sedang berkembang, perbaikan sarana dan prasarana dikebut dimana-mana. Alhasil perwujudan sebuah kota pun semakin santer terjadi. Pembangunan telah menjadi salah satu katalisator percepatan pemenuhan perencanaan suatu negara melalui keinginan masyarakatnya. Oleh karena itu, pembangunan merupakan aktivitas wajar yang menuntut keterlibatan aspek-aspek lain dari bidang lain di dalamnya, salah satunya dari sisi ekologis/lingkungan dan transportasi.

Pada perencanaan sebuah kota, dikenal sebuah pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan ini juga dikenal dengan pembangunan berkelanjutan, merupakan pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, efisien, dan memperhatikan pemanfaatan, baik untuk generasi masa kini maupun untuk generasi yang akan datang.Dalam pembangunan, sector transportasi merupakan salah satu nadi utamanya. Melalui adanya transportasi yang saling terhubung dan aksesibel, pembangunan dapat dilakukan dengan lebih cepat. Dalam hal ini, bisa diartikan bahwa kualitas transportasi berbanding lurus dengan percepatan proses pembangunan.

Sedari kecil kita sering menonton film animasi televisi yang sangat mengekspos sebuah kemajuan teknologi dan pemandangan indah di masa depan lingkungan perkotaan dengan segala kecanggihan dan kemudahannyanya. Untuk mewujudkannya, tentu tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, atau juga tidak semudah seperti memindahkan channel tv dalam sekejap langsung berganti. Salah satu aspek yang juga tak kalah pentingnya adalah sumber pembiayaan pembangunannya. Apa bila tujuan pembangunan dan konsep pembangunan sudah ditetapkan dengan begitu baik, namun tidak diikuti dengan perencanaan sumber pembiayaan yang matang, pembangunan tidak akan berjalan dengan semestinya.Salah satunya implikasinya adalah kemandekan pembangunan dan melahirkan bangunan-bangunan yang mangkrak yang justru akan membuyarkan semangat dan konsep pembangunan kota yang telah direncanakan. Dalam hal ini, kasus yang sama sering terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Pada dasarnya, pembangunan yang memperhatikan keseimbangan lingkungan dan perbaikan lingkungan yang mendorong terjadinya pembangunan merupakan dua hal yang seringkali dijadikan sebagai sebuah analogi kontradiksi, sehingga pada kenyataannya sulit untuk dilakukan bersamaan. Di Indonesia, seringkali salah satunya ada yang ditinggalkan. Namun, dengan komitmen yang dikeluarkan Indonesia melalui Presiden Joko Widodo pada pertemuan internasional di Paris, kekhawatiran mulai menguap.

Tahun 2009, Presiden SBY menyampaikan komitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 26% dengan pendanaan domestik serta 41% jika mendapatkan bantuan pendanaan internasional hingga tahun 2020. Komitmen tersebut kemudian diregulasikan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional dan Daerah (RAN/RAD) Penurunan Emisi GRK. Selain kewajiban pendanaan, regulasi tersebut juga menyebutkan sektor-sektor utama penyumbang emisi di Indonesia yaitu kehutanan dan lahan gambut, energi, transportasi, industri serta limbah. Di awal tahun 2015, target tersebut kemudian direvisi menjadi 29% dan 41% dengan horison waktu 2030. Hal ini sangat selaras dengan apa yang diinginkan oleh presiden Jokowi.“Pemerintah yang saya pimpin akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan,” tandasnya. Ada dua kata kunci dalam pernyataan tersebut, yakni membangun Indonesia dan memperhatikan lingkungan.

Komitmen penurunan emisi GRK secara nasional tersebut sekiranya menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan kondisi sektor transportasi saat ini. Peningkatan produksi kendaraan bermotor yang semakin concern dengan isu emisi lingkungan menjadi urgent ketika pemerintah juga memberikan berbagai insentif kemudahan khususnya dari sisi perpajakan. Pola perilaku masyarakat yang semula sering menggunakan kendaraan pribadi diharapkan bisa berpindah menjadi bagian dalam pengguna transportasi publik. Selain karena kendaraan pribadi berarti menghasilkan semakin banyak polutan, volume kendaraan pada penampang jalan yang sifatnya konstan akan semakin bertambah. Kemacetan akan mengganggu segala bantuk aktivitas manusia dan pembangunan di dalamnya. Beberapa kebijakan kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta berniat untuk mengeluarkan konsep angkutan masal cepat. Oleh karena itu, pembebanan pajak ini merupakan bentuk disinsentif bagi para pelaku perjalanan.

Hingga saat ini, sebenarnya pemerintah sudah menerapkan standar pengaturan emisi sebagai prasyarat di dalam perpanjangan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) setiap tahunnya. Bahkan persyaratan mengenai emisi sudah menjadi aturan tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan.. Berdasarkan Pasal 65, emisi gas buang diukur berdasarkan polutan yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan tidak melebihi ambang batas. Penetapan ambang batas ini selanjutnya akan dibahas oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.

Tentunya apabila kebijakan pajak emisi ini benar-benar diberlakukan, maka akan banyak kemungkinan yang bisa terjadi, terutama di wilayah perkotaan. Hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi para pelaku ekonomi, mengingat beberapa fungsi pajak terhadap pembangunan, yakni sebagai sumber pendapatan Negara, sebagai alat pemerataan ekonomi, sebagai pengatur kegiatan ekonomi, dan sebagai alat stabilisasi perekonomian. Pajak dari hasil gas buang kendaraan ini akan menjadi input baru bagi sumber pembiayaan pembangunan. Beberapa proyek yang sempat tersendat akibat adanya keseretan soal dana bisa dipulihkan secara perlahan melalui adanya pajak ini. Sebuah langkah baru bagi dunia pembangunan Indonesia, yang bersifat sinegis (berjalan selaras) dan simbiosis (saling menguntungkan) antara kepentingan ekologis dan kepentingan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline